Pendahuluan
Perubahan iklim global sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dominan ditimbulkan oleh industri-industri. Gas-gas rumah kaca yang meningkat ini menimbulkan efek pemantulan dan penyerapan terhadap gelombang panjang yang bersifat panas (inframerah) yang diemisikan oleh permukaan bumi kembali ke permukaan bumi (Susandi, dkk., 2008).
Laju perubahan iklim yang cepat melalui pemanasan global merupakan masalah yang cukup serius dihadapi oleh mahluk hidup. Dalam menghadapi hal itu diperlukan adaptasi, antara lain melalui migrasi yang merupakan mekanisme homeostatis mahluk hidup. Pemanasan global akibat perubahan iklim selain menaikkan permukaan air laut akibat pemuaian volume air dan pencairan salju, juga menaikkan suhu air laut. Hal itu akan berpengaruh terhadap interaksi laut dan atmosfer, yang selanjutnya akan mempengaruhi perubahan iklim. Perbedaan temperatur antara udara diatas daratan dan lautan menimbulkan angin sepanjang garis pantai yang kuat. Sedangkan perbedaan temperatur air laut dan di dasar laut akan menimbulkan arus keatas (upwelling). Bila hal ini terjadi dengan intensitas yang tinggi diduga akan menambah frekuensi peristiwa siklon tropis yang disertai perluasan wilayahnya. Suhu permukaan air laut yang tinggi kemungkinan meningkatkan terjadinya El-Nino yang mengakibatkan cuaca buruk dan mengganggu sirkulasi laut (Wibowo, 1996).
Kenaikan temperatur menyebabkan es dan gletser di Kutub Utara dan Selatan mencair. Peristiwa ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air laut. Hal ini membawa banyak perubahan bagi kehidupan di bawah laut, seperti pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. Sehingga akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. Kenaikan muka air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau, serta merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir (BAKL-LAPAN, 2010).
Cuaca
Defenisi cuaca menurut beberapa sumber adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (Gibbs, 1987 dalam BAKL-LAPAN, 2010); (2) keadaan atmosfer secara keseluruhan pada suatu saat termasuk perubahan, perkembangan dan menghilangnya suatu fenomena (World Climate Conference, 1979); (3) keadaan variable atmosfer secara keseluruhan disuatu tempat dalam selang waktu yang pendek (Trewartha, 1980 dalam BAKL-LAPAN, 2010).
Iklim
Beberapa defenisi iklim menurut sumber dalam BAKL- LAPAN, 2010 adalah (1) sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979); (2) Konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn T. Trewartha, 1980); (3) Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Gibbs,1987).
Perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (KLH, 2001). Perubahan fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang panjang. LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. IPCC (2001) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal atau ulah manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan (BAKL-LAPAN, 2009).
Istilah perubahan iklim sering digunakan secara tertukar dengan istilah ’pemanasan global’, padahal fenomena pemanasan global hanya merupakan bagian dari perubahan iklim, karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja, melainkan ada parameter lain yang terkait seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi matahari. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperatur atmosfer yang dekat dengan permukaan bumi dan di troposfer, yang dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Naiknya intensitas efek rumah kaca yang terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas yaitu sinar infra merah yang dipancarkan oleh bumi menjadikan perubahan iklim global (Budianto, 2000 dalam BAKL-LAPAN, 2010).
Studi perubahan iklim melibatkan analisis iklim masa lalu, kondisi iklim saat ini, dan estimasi kemungkinan iklim di masa yang akan datang (beberapa dekade atau abad ke depan). Hal ini tidak terlepas juga dari interaksi dinamis antara sejumlah komponen sistem iklim seperti atmosfer, hidrofer (terutama lautan dan sungai), kriosfer, terestrial dan biosfer, dan pedosfer. Dengan demikian, dalam studi-studi mengenai perubahan iklim dibutuhkan penilaian yang terintegrasi terhadap sistem iklim atau sistem bumi (BAKL-LAPAN, 2009).
Pemanasan Global
Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas rumah kaca – terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Kasiat menyaring panas dari gas tersebut tidak berfungsi. Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbondioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C. Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrai gas rumah kaca pada atmosfer bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi. Pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.
Pemasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya. Sebagian besar studi tentang perubahan iklim sepakat bahwa sekarang kita menghadapi bertambahanya suhu global yang tidak dapat dicegah lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang. Pada bulan Desember 1977 dan Desember 2000, Panel Antar Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan, mengajukan sejumlah pandangan mengenai realitas sekarang ini:
· Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih besar sejak tahun 1960.
· Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu. Permukaan es di kutub utara makin tipis.
· Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan kemampuan untuk menyerap karbon. 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia dan memacu perubahan ilim.
· Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta; kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya emisi carbon dioksida pada atmosfer.
· Selama 50 tahun kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.
Pemansan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah kaca, yang terus bertambah di udara. Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan industri, khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon. Yang terutama adalah karbon dioksida, yang umumnya dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Chlorofluorocarbon merusak lapisan ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global. Karbon dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari.
Sementara lautan dan vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi “atap” sekarang berlebihan akibat emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara bertambah dan itu berarti mempercepat pemanasan global. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar fosil. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras habis dan yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan energi yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro), yang dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah, dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar fosil dan energi nuklir. Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.
Perubahan Iklim
Iklim global sudah selalu berubah-ubah. Jutaan tahun yang lalu, sebagian wilayah dunia yang kini lebih hangat, dahulunya merupakan wilayah yang tertutupi oleh es, dan beberapa abad terakhir ini, suhu rata-rata telah naik turun secara musiman, sebagai akibat fluktuasi radiasi matahari, misalnya, atau akibat letusan gunung berapi secara berkala. Namun, yang baru adalah bahwa perubahan iklim yang ada saat ini dan yang akan datang dapat disebabkan bukan hanya oleh peristiwa alam melainkan lebih karena berbagai aktivitas manusia. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi kita memberikan dampak yang serius terhadap iklim dunia, antara lain lewat pembakaran secara besar-besaran batu bara, minyak, dan kayu, misalnya, serta pembabatan hutan (UNDP, 2007).
Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir (padang lamun, mangrove dan terumbu karang) memainkan peranan penting dalam industri wisata bahari, selain memberikan pelindungan pada kawasan pesisir dari hempasan ombak dan gerusan arus. Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak. Struktur yang begitu kokoh dari terumbu berfungsi sebagai pelindung sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbentuk sejak ratusan juta tahun yang lalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa
silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi (Anonim, 2009).
silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi (Anonim, 2009).
Dampak Perubahan Iklim
Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan temperatur atmosfer menyebabkan kondisi fisis atmosfer kian tak stabil dan menimbulkan terjadinya anomali-anomali terhadap parameter cuaca yang berlangsung lama. Dalam jangka panjang anomali-anomali parameter cuaca tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan iklim (Susandi, dkk., 2008).
Sebagai sebuah kepulauan amat luas yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan 80.000 kilometer garis pantai, Indonesia amat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Kenaikan 1 meter saja dapat menenggelamkan 405.000 hektar wilayah pesisir dan menenggelamkan 2.000 pulau yang terletak dekat permukaan laut beserta kawasan terumbu karang. Hal ini berpengaruh pada batas-batas negara kita: penelitian mutakhir mengungkapkan bahwa minimal 8 dari 92 pulau-pulau kecil terluar yang merupakan perbatasan perairan Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut.Banyak bagian di wilayah pesisir sudah makin direntankan oleh erosi – yang juga sudah diperparah oleh aktivitas manusia seperti pembangunan dermaga dan tanggul di laut, pembendungan sungai, penambangan pasir dan batu, dan perusakan hutan mangrove. Saat ini sekitar 42 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah yang terletak 10 meter di atas permukaan laut (UNDP, 2007).
Berkenaan dengan proyeksi kenaikan muka laut, telah dilakukan penelitian sebelumnya, yaitu proyeksi kenaikan muka laut untuk wilayah Indonesia. Hasil proyeksi tersebut menunjukkan wilayah Indonesia mengalami kehilangan daratan-daratan akibat kenaikan muka laut. Jika diambil hasil proyeksi untuk tahun 2010, 2050, dan 2100 dengan luas daratan yang hilang secara berturut-turut seluas 7408 km2, 30120 km2, dan 90260 km2 . Analisis kerugian kenaikan muka air laut adalah terganggunya lalu lintas jalan raya, munculnya genangan-genangan air di wilayah perkotaan, berkurangnya lahan-lahan produktif di sektor pertanian, bekunya aktifitas-aktifitas industri dan bisnis diakibatkan kerusakan/terganggunya infrastruktur-infrastruktur (Susandi, dkk., 2008).
Dampak yang merugikan akibat perubahan iklim antara lain perubahan pada lingkungan fisik maupun biota sehingga menimbulkan kerusakan pada komposisi, ketahanan, serta produktivitas ekosistem alami. Komposisi ekosistem alami dapat rusak akibat perubahan iklim manakala dampak perubahan iklim tersebut tidak dapat ditolerir oleh komponen pendukung ekosistem. Demikian pula ketahanan komponen ekosistem alami akan mengalami penurunan maupun kerusakan tergantung pada seberapa besar akibat perubahan iklim berpengaruh pada ketahanannya (Wibowo, 1996).
Ekosistem pantai sangat tergantung pada laut. Bila permukaan air laut naik akibat prubahan iklim, maka sedimen yang terjebak dalam hutan mangrove akan terhanyut oleh arus pasang surut. Bila itu terjadi maka berbagai biota laut yang hidup dalam ekosistem pantai tersebut akan terganggu populasinya. Dengan adanya kenaikan muka air laut juga menyebabkan perubahan topografi pantai yang berakibat pada menyempitnya luasan pantai dan pesisir (Wibowo, 1996).
Perubahan iklim di Indonesia berkisar pada soal penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan lahan rawa, serta hilangnya serapan karbondioksida – yang menempatkan Indonesia sebagai penyumbang utama pemanasan global. Semua itu memang terjadi, tetapi itu baru merupakan separuh cerita. Seperti yang akan diungkap laporan ini, bangsa Indonesia juga akan menjadi korban utama perubahan iklim - dan bila kita tidak segera belajar beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya. Perubahan iklim mengancam berbagai upaya Indonesia untuk memerangi kemiskinan. Dampaknya dapat memperparah berbagai risiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin, serta menambah beban persoalan yang sudah di luar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Dengan demikian, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri dan keluarga mereka (UNDP, 2007).
Perubahan iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Mereka bergantung pada ekosistem yang amat rentan yang dengan perubahan kecil saja sudah berdampak besar: perubahan suhu air yang merusak terumbu karang, misalnya, akan memperparah kondisi buruk yang dilakukan manusia seperti polusi dan penangkapan ikan besar-besaran sehingga menurunkan populasi ikan. Perahu-perahu penangkap ikan juga mesti mesti menghadapi cuaca yang tidak menentu dan gelombang tinggi. Perubahan iklim juga sudah mengganggu mata pencaharian di banyak pulau. Di Maluku, misalnya nelayan mengatakan mereka tidak lagi dapat memperkirakan waktu dan lokasi yang pas untuk menangkap ikan karena pola iklim yang sudah berubah. Kenaikan muka air laut juga dapat menggenangi tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, dan Sulawesi (UNDP, 2007).
Terumbu karang sangat peka terhadap perubahan temperatur dan tingkat sedimentasi. Bila temperatur kurang dari 18 derajat Celcius terumbu karang akan mati sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Juga tingkat sedimentasi yang tinggi akan memperkeruh air laut sehingga sinar matahari tidak dapat menembus sampai pada dasar laut habitat terumbu karang. Bila itu terjadi maka fotosintesis akan terganggu sehingga pertumbuhan terumbu karang juga akan terganggu. Dengan adanya gangguan terhadap fotosintesis dapat menyebabkan biota karang migrasi yang menyebabkan bleaching pada ekosistem terumbu karang. Demikianlah, dampak perubahan iklim terhadap ekosistem alami bila diurutkan lebih jauh akan sangat berpengaruh pada rantai makanan dan akhirnya akan mempengaruhi aktiv itas mahluk hidup secara keseluruhan (Wibowo, 1996).
Plankton Memperlambat Pemanasan Global
Para ilmuwan dari Amerika Serikat menemukan plankton secara tidak langsung dapat membuat awan yang dapat menahan sebagian sinar matahari yang merugikan.
Ketika matahari menyinari lautan, lapisan atas laut (sekitar 25 meter dari permukaan laut) memanas, dan menyebabkan perbedaan suhu yang cukup tinggi dengan lapisan laut di bawahnya. Lapisan atas dan bawah tersebut terpisah dan tidak saling tercampur. Plankton hidup di lapisan atas, tapi nutrisi yang diperlukan oleh plankton terdapat lebih banyak di lapisan bawah laut. Akibat kondisi malnutrisi ditambah dengan suhu air yang panas, plankton mengalami stress sehingga lebih rentan terhadap sinar ultraviolet yang dapat merusaknya. Karena rentan terhadap sinar ultraviolet, plankton mencoba melindungi diri dengan menghasilkan zat dimethylsulfoniopropionate (DMSP) yang berfungsi untuk menguatkan dinding sel mereka. Zat ini jika terurai ke air akan menjadi zat dimethylsulfide (DMS). DMS kemudian terlepas dengan sendirinya dari permukaan laut ke udara.
Di atmosfer, DMS bereaksi dengan oksigen sehingga membentuk sejenis komponen sulfur. Komponen sulfur DMS itu kemudian saling melekat dan membentuk partikel kecil seperti debu. Partikel-partikel kecil tersebut kemudian memudahkan uap air dari laut untuk berkondensasi dan membentuk awan. Jadi, secara tidak langsung plankton membantu menciptakan awan. Awan yang terbentuk menyebabkan semakin sedikit sinar ultraviolet yang mencapai permukaan laut, sehingga plankton pun terbebas dari gangguan sinar ultraviolet.
Awan yang disebabkan oleh plankton ini, dapat memperlambat proses pemanasan global, serta memiliki efek besar tehadap iklim bumi. Penelitian yang dilakukan di Laut Sargasso, lepas pantai Bermuda ini juga menemukan secara mengejutkan bahwa partikel DMS ini dapat terurai dengan sendirinya di udara setelah tiga sampai lima hari saja. Padahal, karbondioksida di udara, dapat bertahan hingga berpuluh-puluh tahun. Karena penguraian alamiah DMS sangat cepat, DMS tidak akan menimbulkan efek rumah kaca, tidak seperti karbondioksida.
Sumber: http://ikanmania.wordpress.com. 2008. plankton-dapat-memperlambat-proses-pemanasan-bumi [20 Februari 2011].
Fitoplankton Menanggulangi Pemanasan global
Menurut Dr. Anugerah Nontji seorang peneliti dari LIPI, menyatakan bahwa fitoplankton menyerap karbondioksida di udara sebesar tiga puluh miliar ton per tahun. Karbondioksida digunakan oleh plankton dalam proses fotosintesis yang akan menghasilkan karbohidrat, oksigen serta bahan organik lainnya. Penyerapan ini dilakukan oleh semua fitoplankton di perairan yang masih tertembus cahaya matahari atau pada batas penetrasi cahaya.
Dalam satu liter air terdapat lebih dari saju juta plankton. Oleh karena itu, lautan merupakan hutan belantara yang transparan atau tidak terlihat. Kelompok fitoplankton yang paling berpengaruh dalam penyerapan CO 2 adalah kelompok diataom yang mampu berfotosintesis dan tidak merugikan organisme lain. Kelimpahan fitoplankton dalam kelompok ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan dalam penanggulangan CO2 yang berlebih di udara.
Penyerapan karbondioksida oleh tumbuhan mulai berkurang karena adanya aktivitas manusia yang merusak ekosistem hutan dengan menebang dan membakar hutan. Dengan adanya aktivitas fitoplankton tersebut, proses pemanasan global dapat ditanggulangi oleh alam secara perlahan. Semakin banyak jumlah fitoplankton dalam perairan terutama perairan laut, maka makin besar fungsinya dalam menanggulangi pemanasan global.
Sumber: Kompas, 26 April 2006. Halaman 13. Fitoplankton Kendalikan Pemanasan Global.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Plankton Dapat Memperlambat Proses Pemanasan Bumi. http://ikanmania.wordpress.com [20 Februari 2011].
Anonim. 2009. Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang. http://www.scribd.com [22 Oktober 2011].
BAKL-LAPAN. 2010. Iklim. http://www.dirgantara-lapan.or.id [ 12 Januari 2012]
BAKL-LAPAN. 2010. Dampak Perubahan Iklim. http://www.dirgantara-lapan.or.id [ 12 Januari 2012].
Kompas, 26 April 2006. Halaman 13. Fitoplankton Kendalikan Pemanasan Global.
Susandi, dkk. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008.
UNDP. 2007. Sisi Lain Perubahan Iklim. UNDP Indonesia Country Office: Jakarta.
Wibowo. 1996. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ekosistem Alami. Wacana No. 3/Juli-Agustus 1996.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar