Minggu, 04 Desember 2011

Terumbu Karang


PENDAHULUAN


Terumbu karang terdiri dari dua kata, yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan zat kapur hasil metabolisme dari ribuan hewan karang. Jadi, dalam seonggok batuan terumbu itu, terdapat ribuan hewan karang yang hidup di dalam celah kecil yang disebut polip. Hewan karang ini bentuknya renik dan melakukan kegiatan pemangsaan terhadap berbagai mikro organisme lainnya yang melayang pada malam hari. Terumbu karang bertumbuh dan berkembang sangat lambat. Sebagian besar karang hanya hidup di iklim tropis. Hewan-hewan yang karang ini bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae. Alga ini memberikan nuansa warna terhadap karang (Madduppa, 2008).
Daerah Asia-Mediterania, yaitu laut di dalam dan di sekitar kepulauan Indonesia dari bagian utara Australia sampai bagian selatan cina memilki daerah terumbu karang yang luas, yaitu sekitar 182.000 km2 yang merupakn 30% dari total daerah terumbu karang di dunia. Khusus mengenai terumbu karang, Indonesia dikenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh Indo-Pasifik. Indonesia memilki areal terumbu karang seluas 60.000 km2 lebih. Sejauh ini telah tercatat kurang lebih 354 jenis karang yang termasuk kedalam 75 marga (Wells (1986) dalam Kunarso 2008).
Saat ini, peran terumbu karang sebagai gudang keanekaragaman hayati menjadikannya sebagai sumber penting bagi berbagai bahan bioaktif yang diperlukan di bidang medis dan farmasi, kemampuannya menahan  nutrien-nutrien dalam sistem terumbu dan perannya sebagai kolam untuk menampung segala bahan yang berasal dari luar sistem terumbu (Monrow, 2010).
Fungsi utama terumbu karang, bagaikan hutan lebat di daratan dan rumah bagi ribuan jenis hewan laut. Fungsi ekonomisnya, terumbu karang dan hutan mangrove menyediakan bermacam jenis ikan, udang, kepiting dan kerang yang bisa menjadi mata pencaharian utama nelayan (Banjarmasinpost, 2010.
Secara ekologis, terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di sekitar padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti: kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan perhubungan laut (Kelilaw, 2011).
Pada umumnya komunitas terumbu karang sangat peka terhadap pengaruh kegiatan manusia. Bila kerusakan karang telah terjadi, maka untuk memperbaikinya sangat lambat mengingat kecepatan pertumbuhan karang juga berlangsung lama. Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh berkisar 2 cm/tahun untuk “brain corals” yang massive, misalnya pada jenis Diploria dan Montastrea sampai sekitar 20 cm/tahun untuk karang ranting, misalnya pada jenis Acropora. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan selain menurunnya kecepatan tumbuh, juga kegagalan mekanisme reproduksi yang berujung pada kematian seluruh koloni karang
(Wibisono, 2005).
Konservasi sumberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari keruskan akibat aktivitas manusia. Kawasan konservasi laut mempunyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam hayati wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung lebih baru ditetapkan dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan dan mengelolanya.  Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya diatur melalui zona-zona yang telah di tetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (Supriharyono, 2007).






TINJAUAN PUSTAKA


Pengertian  Terumbu  Karang
Terumbu karang terdiri dari dua kata, yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan zat kapur hasil metabolisme dari ribuan hewan karang. Jadi dalam seonggok batuan terumbu itu, terdapat ribuan hewan karang yang hidup di dalam celah kecil yang disebut polip. Hewan karang ini bentuknya renik dan melakukan kegiatan pemangsaan terhadap berbagai mikro organisme lainnya yang melayang pada malam hari. Berdasarkan hasil transplantasi karang beberapa jenis memperlihatkan hanya sekitar 1 cm per bulan. Sebagian besar karang hanya hidup di iklim tropis. Hewan-hewan yang karang ini bersimbiosis dengan alga Zooxanthellae (Madduppa, 2008).
Terumbu karang adalah karang yang terbentuk dari kalsium karbonat koloni kerang laut yang bernama polip yang bersimbiosis dehttp://www.google.comngan organisme miskroskopis yang bernama zooxanthellae. Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Biasanya tumbuh di dekat pantai di daerah tropis dengan temperatur sekitar 21-30C. Terumbu karang merupakan sumber makanan dan obat-obatan dan melindungi pantai dari erosi akibat gelombang laut (Anonim, 2011).
Terumbu karang adalah struktur hidup yang terbesar dan tertua di dunia. Untuk sampai ke kondisi yang sekarang, terumbu karang membutuhkan waktu berjuta tahun. Tergantung dari jenis, dan kondisi perairannya, terumbu karang umumnya hanya tumbuh beberapa mm saja per tahunnya. Yang ada di perairan Indonesia saat ini paling tidak mulai terbentuk sejak 450 juta tahun silam. Terdapat ribuan spesies yang hidup di kawasan terumbu karang. Namun, hanya sebagian yang menghasilkan kalsium karbonat pembentuk terumbu. Organisme pembentuk terumbu yang terpenting adalah hewan karang (Anonim, 2011).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang di atas dibedakan antara binatang karang atau karang  (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin (1993) dalam Dewi 2011).
Terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCO3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef –building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi (Veron (1995) dalam Dewi 2011).
Ada dua tipe terumbu karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah koloni karang yang membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium karbonat(CaCO3), sehingga sering disebut pula reef building corals. Sedangkan ahematypic corals adalah koloni karang yang tidak dapat membentuk terumbu. Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dapat dibagi tiga tipe, yaitu terumbu karang tepi (fringring reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi tumbuh dari tepian pantai, terumbu karang penghalang dipisahkan dari daratan pantai oleh goba (laggon), dan terumbu karang cincin merupakan terumbu karang yang melingkar atau berbentuk oval yang mengelilingi goba (Supriharyono, 2007).

Penyebaran  Terumbu  Karang di  Indonesia
Daerah Asia-Mediterania yaitu laut di dalam dan di sekitar kepulauan Indonesia dari bagian utara Australia sampai bagian selatan China memilki daerah terumbu karang yang luas, yaitu sekitar 182.000 km2 yang merupakn 30% dari total daerah terumbu karang di dunia. Khusus mengenai terumbu karang, Indonesia di kenal sebagai pusat distribusi terumbu karang untuk seluruh Indo-Pasifik. Indonesia memilki areal terumbu karang seluas 60.000 km2 lebih. Sejauh ini telah tercatat kurang lebih 354 jenis karang yang termasuk ke dalam 75 marga (Wells (1986) dalam Kunarso 2008).
Terumbu karang (Coral Reef) adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah tersebut (Anonim, 2008).
 Terumbu karang di Indonesia ditemui sangat berlimpah di wilayah kepulauan bagian timur (meliputi Bali, Flores, Banda dan Sulawesi). Namun juga terdapat di perairan Sumatera dan Jawa. Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi (terumbu karang tepi, penghalang dan atol). Namun tipe terumbu karang yang dominan di Indonesia ialah terumbu karang tepi. Terumbu karang tepi ini dapat dijumpai sepanjang pesisir Sulawesi, Maluku, Barat dan Utara Papua, Madura, Bali, dan sejumlah pulau-pulau kecil di luar pesisir Barat dan Timur Sumatera. Tipe Patch Reefs (terumbu karang yang mengumpul) paling baik terbentuk di wilayah Kepulauan Seribu, sedangkan terumbu karang penghalang paling baik terbentuk di sepanjang tepi Paparan Sunda, bagian Timur Kalimantan dan sekitar Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah). Terdapat pula beberapa atol, contohnya Taka Bone Rate di Laut Flores merupakan atol terbesar ketiga di dunia. Kondisi terumbu Karang Indonesia mengalami penurunan drastis hingga 90% dalam lima puluh tahun terakhir akibat penangkapan dalam lima puluh tahun terakhir akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Total terumbu karang Indonesia yang mencapai 85.200 km2, terluas ke dua di dunia setelah Great Barrier Reef— itu tercatat 40 persen diantaranya berada dalam kondisi rusak, rusak sedang 24 persen, dan sangat baik hanya enam persen (Iwan, 2009).
Beberapa faktor rusaknya terumbu karang di Indonesia disebabkan karena aktivitas manusia, di antaranya adalah membuang sampah ke laut dan pantai yang dapat mencemari air laut, penggunaan pupuk dan pestisida buatan pada lahan pertanian turut merusak terumbu karang di lautan, boros menggunakan air (semakin banyak air yang digunakan semakin banyak pula limbah air yang dihasilkan dan akhirnya mengalir ke laut), membuang jangkar pada pesisir pantai, penambangan pasir atau bebatuan di laut dan pembangunan pemukiman di pesisir, limbah dan polusi dari aktivitas masyarakat di pesisir secara tidak langsung berimbas pada kehidupan terumbu karang, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan hiasan akuarium, menangkap ikan di laut dengan menggunakan bom dan racun sianida, dan selain karena kegiatan manusia, kerusakan terumbu karang juga berasal dari sesama mahkluk hidup di laut seperti siput drupella salah satu predator karang (Juliana, 2011).
Karang cenderung memutih apabila suhu meningkat tajam dalam waktu yang singkat atau suhu meningkat perlahan-lahan dalam jangka waktu yang panjang. Gangguan alam yang lain yang dapat menyebabkan pemutihan karang yaitu tingginya tingkat sinar ultra violet, perubahan salinitas secara tiba-tiba, kekurangan cahaya dalam jangka waktu yang lama, dan penyakit. Faktor pengganggu lainnya adalah kegiatan manusia, mencakup sedimentasi, polusi dan penangkapan ikan dengan bahan peledak. Rusaknya terumbu karang mengakibatkan sumber rantai makanan juga hilang. Akibatnya, selain nelayan kian sulit menangkap ikan, udang atau biota laut lainnya, pertumbuhan dari biota tersebut juga lambat (Iwan, 2009).

Peran Terumbu Karang Bagi Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir (padang lamun, mangrove dan terumbu karang) memainkan peranan penting dalam  industri wisata bahari, selain memberikan pelindungan  pada  kawasan  pesisir dari   hempasan  ombak dan  gerusan arus.
Di samping peranannya yang penting, ekosistem terumbu karang  Indonesia dipercaya sedang mengalami tekanan berat dari kegiatan penangkapan ikan dengan mempergunakan racun dan bahan peledak. Struktur yang begitu kokoh dari terumbu berfungsi sebagai pelindung  sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbentuk sejak ratusan juta tahun yang lalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa
silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi (
Anonim, 2009).
Adapun fungsi terumbu karang antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai tempat berteduh (Sheltor) dan tempat mencari makan bagi sebagian    
    biota Laut.
2. Sebagai penahan erosi pantai karena deburan ombak
3. sebagai cadangan sumber daya alam (Natural Stock) untuk berbagai jenis biota      
    yang  bernilai ekonomi penting.
4. Untuk daerah pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery), dan
    pembesaran (rearing) beberapa jenis ikan.
5. Untuk bahan makanan, yaitu berupa ikan, udang-udangan (lobster), octpus,
    Kerang-kerangan (oyster), rumput laut, dan sebagainya, (Wibisono, 2005)  Oleh : Antri Poster Sianturi, 100302081.
            Selain itu, masuh terddapat fungsi terumbu karang lainnya sebagai berikut:
1.      Pelindung ekosistem pantai           
2.      Objek wisata         
3.      Daerah Penelitian  
Penelitian akan menghasilkan informasi penting dan akurat sebagai dasar pengelolaan yang lebih baik.
4.      Mempunyai nilai spiritual  
Bagi banyak masyarakat, laut adalah daerah spiritual yang sangat penting, Laut yang terjaga karena terumbu karang yang baik tentunya mendukung kekayaan spiritual ini
(Anonimymous, 2008).
Terumbu karang merupakan sumber makanan dan obat-obatan dan melindungi pantai dari erosi akibat gelombang laut. Terumbu karang memberikan perlindungan bagi hewan-hewan dalam habitatnya termasuk sponge, ikan (kerapu, hiu karang, clown fish, belut laut, dll), ubur-ubur, bintang laut, udang-udangan, kura-kura, ular laut, siput laut, cumi-cumi atau gurita, termasuk juga burung-burung laut yang sumber makanannya berada di sekitar ekosistem terumbu karang. Terumbu karang ditemukan di sekitar 100 negara dan merupakan rumah tinggal bagi 25% habitat laut. Diterumbu karang bagi mereka adalah sebagai tempat bersarang dan memijah (Anonim, 2010).
Terumbu karang (coral refers) merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang ( reef corals ), yang hidup di dasar laut atau perairan, yang berupa batuan kapur, dan mempunyai kemampuan yang cukup kuat menahan gelombang laut. Tingginya produktivitas di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan ( feeding ground ) dari kebanyakan organism laut, termasuk ikan. Disamping terumbu karang mempunyai potensi di sector perikanan, ekosistem terumbu karang juga mempunyai manfaat yang lain, diantaranya adalah:
1.       Sebagai sarana pendidikan yang dapat menumbuh kembangkan rasa cinta laut .
2.      Bahan obat-obatan.
3.      Bahan-bahan untuk budidaya.
4.      Rekreasi.
5.      Sebagai wilayah yang berpoten si untuk dikembangkan menjadi kegiatan wisata alam  Bahari yang ias menghasilkan devisa.
6.      Penghalang pesisir (barrier), mencegah terjadinya erosi pesisir.
7.      Bahan-bahan bangunan (Supriharyono, 2007).

Teknik Pemanfaatan Terumbu Karang yang Berkelanjutan
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dan memiliki keragaman biologi yang tinggi. Meskipun memiliki keragaman yang tinggi, namun ekosistem ini tidak stabil dan sensitif terhadap berbagai gangguan, terutama yang berasal dari aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan secara tidak ramah lingkungan (Tuwo, 2011).
Pengelolaan, baik sumber daya alam dan energi yang dapat diperbaharui maupun yang tak dapat diperbaharui haruslah secara bertanggung jawab, artinya harus secara bijaksana melestarikan persediaan sumber daya alam dan mineral tersebut sehingga generasi sekarang dan mendatang dapat menikmatinya. Pelaksanaan pengelolaan haruslah sedemikian rupa sehingga sumber daya alam dan energi itu tidak habis, atau kalau dapat selalu ditingkatkan persediaannya dengan usaha-usaha eksplorasi dan eksploitasi, peningkatan efisiensi proses produksi, penggandaan/peningkatan fungsi, serta dengan bantuan teknologi dapat ditingkatkan proses daur ulang (Pradono, 1998).
Dikatakan bahwa sumberdaya mempunyai 3 aspek, ialah yang tergolong alam, manusia, dan kebudayaan. Tinggi-rendah nilai sumberdaya banyak tergantung dari interaksi ketiga aspek tersebut. Suatu benda atau bahan alam baru berfungsi sebagai sumberdaya apabila menjadi kebutuhan manusia. Bahan itu menjadi kebutuhan apabila ada kepentingan manusia terhadapnya dan ada teknologi yang dapat memanfaatkan. Interaksi tersebut melibatkan berbagai ilmu pengetahuan, yaitu yang berhubungan dengan bahan alam tersebut, dengan beserta pengetahuan, sikap, dan kepentingannya, dan dengan teknologi sebagai manifestasi kebudayaannya. Kecuali itu perlu ada pengetahuan tentang eksplorasi, eksploitasi, analisa, prosesing, pemasaran, dan lain-lain. Maka studi lengkap tentang sumberdaya meliputi banyak bidang, ialah:
1.      Studi tentang bahan, organisma hidup, keadaan, dan sebagainya yang terdapat di dalam alam.
2.      Studi tentang manusia sebagai makhluk tingkat hewan dan tingkat suprahewan, sebagai individu dan sebagai kelompok.
3.      Studi tentang kebudayaan manusian dalam segala seginya, termasuk teknologi, lembaga sosial dan politik, sejarah, sifat dan ciri-cirinya, arah perubahannya, dan lain-lain.
4.      Studi tentang kegayutan antara ketiga bidang tersebut.
Jadi luaslah masalah yang menyangkut pergumulan tentang selukbeluk sumberdaya (Prawiro, 1983).
Berjuta penduduk Indonesia bergantung sepenuhnya pada ekosistem terumbu karang sebagai sumber pencaharian. Jumlah produksi ikan, kerang dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Sumber perikanan yang ditopang oleh ekosistem terumbu karang memiliki arti penting bagi masyarakat setempat yang pada umumnya masih memakai alat tangkap tradisional (LIPI, 2007).
Dalam hal ini metode studi kasus digunakan untuk mengkaji lebih dalam aktivitas ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan teknik survey dalam pengambilan responden, akan memungkinkan model yang digunakan dapat diadopsi untuk penelitian di daerah lainnya. Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Manfaat langsung yang dapat dirasakan dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Berdasarkan pemanfaatan ikan karang konsumsi dengan menggunakan data cross section, nilai ekonomi aktual ekosistem terumbu karang kepualauan Ternate sebesar Rp 21.027.933.840,00 sedangkan nilai manfaat sekarang sebesar Rp 384.542.778,79 dan nilai ekonomi sekarang ekosistem terumbu karang Pulau Ternate sebesar Rp 239.081.334,38 (Erni, 2007).
Selain nilai ekonominya, ekosistem terumbu karang juga merupakan laboratorium alam yang sangat unik untuk berbagai kegiatan penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang berguna bagi kehidupan manusia. Beberapa jenis spongs, misalnya, merupakan binatang yang antara lain terdapat di ekosistem terumbu karang yang berpotensi mengandung bahan bioakif yang dapat dijadikan bahan obat-obatan antara lain untuk penyembuhan penyakit kanker. Selain itu binatang karang tertentu yang mengandung kalsium karbonat telah dipergunakan untuk pengobatan tulang rapuh. Fungsi lain dari ekosistem terumbu karang yang hidup di dekat pantai ialah memberikan perlindungan bagi berbagai properti yang ada di kawasan pesisir dari ancaman pengikisan oleh ombak dan arus (LIPI, 2007).
Para pemerhati lingkungan juga melontarkan berbagai gagasan, ide dan saran kepada pengambil kebijakan untuk menjaga kondisi terumbu karang agar dapat berfungsi dengan baik. Salah satunya ajakan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan Friends of the Reef (FoR) di beberapa lokasi di Asia Pasifik. Misi utama FoR adalah mengasilkan stategi untuk meningkatkan daya tahan dan daya lenting terumbu karang agar mampu menghadapi ancaman pemanasan global. Baru-baru ini, Presiden Republik Indonesia mengadakan pertemuan di Sydney dan telah mengumumkan sekaligus mengajak negara-negara di dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik untuk menjaga dan melindungi kawasan segitiga karang dunia yang dikenal dengan nama Coral Triangle. Indonesia bersama lima negara lainnya yaitu Philipina, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan Kepulauan Salomon mengumumkan sebuah inisiatif perlindungan terumbu karang yang disebut Coral Triangle Initiative (CTI). Inisiatif ini mendapat kesan positif dari negara- negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut, terutama terumbu karang melalui CTI sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan upaya mengurangi kemiskinan. Menjaga kelestarian terumbu karang bukan hanya menjadi tanggung jawab nelayan saja melainkan seluruh umat manusia di bumi ini. Dengan menanamkan pendidikan kepada masyarakat luas (terutama yang tinggal di sepanjang garis pantai) mengenai fenomena ini melalui beberapa media seperti leaflet, booklet dan berbagai media komunikasi cetak lainnya perlu disebarkan ke masyarakat, termasuk melalui media eletronik, radio dan televisi. Kemudian adanya penegakan hukum dan partisipasi pesisir dalam menjaga keutuhan wilayah pesisir yang salah satunya dengan mengawasi dan menjaga aktivitas penambangan liar di daerah pesisir yang harus segera dihentikan (DKP Kab. Oki, 2011).

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kerusakan Terumbu Karang
Menurut Ministery of State for Environment (1996), dari luas terumbu karang sekitar 50.000 km2 yang ada di Indonesia diperkirakan hanya 7% terumbu karang yang masih sangat baik, sedangkan 33% baik, 46% rusak dan 15% lainnya kondisinya sudah kritis. Namun tidak dilaporkan apakah kerusakan ini telah menurunkan jumlah jenis karang atau tidak. Namun diperkirakan penurunan jumlah tutupan karang hidup tersebut juga diikuti pula dengan penurunan jumlah jenis karang. Sebagai contoh, karang merah (Tubipora musica), sangat berlimpah pada tahun 1980-an, namun kini jenis tersebut sangat sulit didapatkan
(Supriharyono, 2007).
Walaupun terumbu karang terlihat luas dan merupakan sistem yang sangat stabil, pada atol selama jutaan tahun, sebenarnya mereka mengalami perusakan dalam skala besar oleh berbagai kekuatan. Mungkin sumber terbesar dari terumbu karang adalah perusakan mekanik oleh badai tropik yang hebat. Topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu daerah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu. Bila terumbu karang banyak yang terletak di zona yang sering dilalui oleh topan atau angin puyuh, maka seluruh atau sebagian dari terumbu akan dirusak atau mengalami kerusakan berat yang besar. Akibat badai ini biasanya disertai kerusakan koloni-koloni sampai ke akar-akarnya dan terangkat dari terumbu, jadi memungkinkan untuk ditempati oleh pendatang baru 
(Nybakken, 1988) .
            Selain kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan antropogenik, juga ada yang disebabkan oleh pengaruh alam lainnya, misalnya akibat dari perubahan cuaca global El Nino pada tahun 1987-1988 sehingga terjadi peningkatan suhu air laut rata-rata yang berakibat kematian karang melalui tahap pemutihan (bleaching). Laporan dari BPPT diatas juga menyebutkan bahwa di Kep. Seribu 90-95% terumbu karang yang berada pada kedalaman 25 meter mengalami kematian (Wibisono, 2005).
Sumber kedua terbesar yang menyebabkan kematian terumbu, pada tahun-tahun terakhir adalah ledakan populasi bintang laut Acanthaster planci. Sejak1957, ketika mula-mula ditemukannya ledakan populasi, A. Planci menyebabkan  bencana kematian terumbu pada banyak tempat di Pasifik Barat. Kemampuan bintang laut dalam merusak daerah yang sangat luas di terumbu sangat dahsyat. Di Guam, Chester (1969) memperkirakan bahwa 90 persen terumbu karang sepanjang 38 km pada garis pantai telah dirusak dalam waktu dua setengah tahun, dan di Great Barrier Reef, Endean (1973) mencatat bagian terbesar dari karang dalam suatu terumbu seluas 8 km2 telah rusak dalam 12 bulan
(Nybakken, 1988) ).
Pada umumnya komunitas terumbu karang sangat peka terhadap pengaruh kegiatan manusia. Bila kerusakan karang telah terjadi, maka untuk memperbaikinya sangat lambat mengingat kecepatan pertumbuhan karang juga berlangsung lama. Hasil pengamatan para ahli menyebutkan bahwa kecepatan tumbuh berkisar 2 cm/tahun untuk “brain corals” yang massive, misalnya pada jenis Diploria dan Montastrea sampai sekitar 20 cm/tahun untuk karang ranting, misalnya pada jenis Acropora. Pada kondisi terganggunya lingkungan bisa menyebabkan selain menurunnya kecepatan tumbuh, juga kegagalan mekanisme reproduksi bisa terjadi dimana seluruh zoox meninggalkan hewan karang yang berujung pada kematian seluruh koloni karang (Wibisono, 2005).
Bentuk-bentuk kerusakan/dampak negatif dari kegiatan manusia bisa berupa antara lain:
1.      Pencemaran
2.      Membuang sauh/jangkar di lokasi terumbu (anchoraging).
3.      Rusak karena terinjak oleh wisatawan (trampling).
4.      Pencungkilan karang.
5.      Penangkapan ikan karang dengan dinamit.
6.      Over eksploitasi produksi terumbu.
7.      Buangan bekas jaring/ jala ikan atau gill-net yang kusut sehingga karang terlilit.
8.      Pembabatan hutan mangrove tanpa kendali apapun ataupun penghilangan hutan mangrove.
9.      Pembangunan di wilayah pesisir tanpa kearifan lingkungan.
(Wibisono, 2005).

Usaha-Usaha Pelestarian dan Konservasi Terumbu Karang
Lautan Indonesia yang luasnya 5,8 juta km2 terdiri dari 0,3 juta km2  perairan teritorial, 2,8 juta km2 perairan laut nusantara, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi ekslusif. Perairan laut ini merupakan wilayah yang sangat besar di negara Kepulauan Republik Indonesia. Luasnya meliputi 75 % dari seluruh wilayah Indonesia atau 3 kali seluruh luas wilayah daratannya. Bagian paling rawan dari wilayah lautan ini adalah perairan teritorial tempat adanya daerah terumbu karang dan hutan bakau. Kerawanan itu disebabkan oleh tingkat eksploatasi sumber alam yang sangat tinggi di bagian wilayah ini. Daerah pesisir memang merupakan bagian wilayah lautan Indonesia yang paling produktif (Soerjani, 1987).
Berbicara mengenai potensi sumberdaya biologis laut, wilayah indonesia terkenal mempunyai keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi, sehingga banyak para wisatawan dari manca negara yang datang ke Indonesia untuk mempelajari aspek ini. Namun disayangkan aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan pesisir dan laut, sering tanpa mengindahkan konsep pelestarian alam, sehingga yang terjadi potensi tersebut terus menurun. Daerah suaka alam, yang dilindungi tak luput pula dari jamahan mereka, sehingga “biological reserve”, juga ikut rusak. Ekosistem sumberdaya laut, seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang dulu sangat berlimpah, baik jumlah luasnya, individunya, maupun jumlah jenisnya, kini sudah semakin menurun (Supriharyono, 2007).
Apa yang terkandung dari laut dan pantai pesisir ini, tentu saja demi kelangsungan dan dapat dimanfaatkan di masa datang dan perlu ada penjagaan serta pelestarian dari segenap bagsa, baik yang datannya dari pemerintah maupun dari masyarakat. Dari segi pemerintah, sebenarnya telah tercipta beberapa kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan, penjagaan, dan pelestarian sumber daya laut. Hanya dalam praktek di lapangan sering terjadi kendala-kendala, terutama dalam mewujudkan apa yng dicita-citakan dalam setiap kebijakan dan strategi yang dicanangkan (Sjamsoeddin, 1997).
Terumbu karang dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling beragam, kompleks dan produktif di muka bumi ini. Setidaknya 794 spesies karang di dunia telah berhasil dideskripsikan oleh para ahli, dan 77% dari karang yang telah diidentifikasi tersebut berlokasi di Asia Tenggara. Terumbu karang memberikan layanan ekosistem yang sangat penting dan memberikan dampak ekonomi secara langsung kepada masyarakat pesisir. Belum lagi keuntungan atau manfaat yang tidak bisa dinilai dengan uang, diantaranya sebagai tempat daur ulang nutrien, penyediaan makanan, daerah perlindungan dan pemijahan ikan dan sebagai organisme laut lainnya (Fadli, 2008).
Indonesia sebagai negara berkembang yang mempunyai kekayaan terumbu karang, juga tidak tertinggal dengan negara-negara lain, untuk membuat kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi nasional dalam perlindungan dan pengkonversiaan terumbu karang. Apalagi menurut hasil penelitian tim teknis KLH pada tahun 1993, kondisi terumbu karang di Indonesia adalah 14% dalam kondisi kritis, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % kondisinya masih bagus, dan hanya kira-kira 7 % yang kondisinya bagus. Penelitian terhadap kondisi terumbu karang di perairan Indonesia masih sangat sedikit. Menurut Puslitbang Oseanologi-LIPI telah melakukan penelitian terhadap terumbu karang di Indonesia. Dipilih 371 lokasi terumbu karang yang tersebar di kawasan Timur Indonesia (Sjamsoeddin, 1997).
Ancaman terhadap terumbu karang bisa berasal dari alam maupun ancaman dari manusia. Ancaman alami diantaranya: gelombang, badai, tsunami, dan naiknya temperatur air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Namun ancaman/faktor manusia merupakan ancaman yang paling utama terhadap terumbu karang. Karang yang dirusak baik oleh faktor alami maupun faktor manusia umumnya terdegradasi menjadi pecahan karang (rubble) (Fadli, 2008).
Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan sumberdaya alam itu sendiri. Ada beberapa aktivitas manusia yang diketahui  sangat berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Aktivitas-aktivitas manusia tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pariwisata (bahari), transportasi laut (termasuk pelabuhan (Supriharyono, 2007).
Pengambilan terumbu karang dan pasir pantai untuk bahan bangunan telah melebihi batas yang wajar. Penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan dan menggali karang menimbulkan berbagai kerusakan. Tindakan tersebut sangat merusak daya dukung lautan, terutama karena dampaknya terhadap kemampuan produksi sumber alam hayati, baik yang berupa ikan, udang kerang-kerangan, maupun yang berupa biota laut lainnya
(Soerjani, dkk., 1987).
Konservasi semberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari keruskan akibat aktivitas manusia. Kawasan konservasi laut mempunyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam hayati wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung labih baru ditetapkan dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan dan mengelolanya.  Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya diatur melalui zona-zona, yang telah di teteapkan kegiatan-kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (Supriharyono, 2007).
Berdasarkan (Sjamsoeddin, 1997) kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya tetap melestarikan terumbu karang sebagai kekayaan nasional antara lain:
1.    Mengupayakan peraturan perundang-undangan bagi perlindungan terumbu karang, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum dalam rangka penegakkan hukum bagi pelestarian dan perlindungan terumbu karang.
2.    Mengupayakan usaha-usaha peningkatan kesadaran dan peran serta masyarakat bagi pelestarian terumbu karang.
3.    Mengupayakan pelatihan, penelitian, dan pendidikan bagi upaya-upaya konservasi terumbu karang.
4.    Mengupayakan pengelolaan kawasan konservasi ekosistem terumbu karang agar dapat diupayakan pemanfaatannya secara optimal, dan berdaya guna bagi masyarakat.
Keterkaitan dan Interaksi Ekosistem Terumbu Karang dengan Ekosistem Pesisir Lainnya
Penelitian dilakukan untuk membuktikan apakah daerah mangrove dan lamun benar-benar secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan karang untuk membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah hanya sebagai tempat alternatif (fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 jenis biotope (habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang ditumbuhi komunitas mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi mangrove (tanpa mangrove), daerah berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun dan mangrove serta daerah berlumpur di teluk yang tidak ditumbuhi lamun dan mangrove (daerah kosong tanpa vegetasi) (Kelilaw, 2011).
Struktur yang begitu kokoh dari terumbu berfungsi sebagai pelindung  sempadan pantai, dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbentuk sejak ratusan juta tahun yang lalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan di masa silam, sehingga penting bagi penelitian paleoekologi. Ekosistem ini juga berperan penting dalam siklus biogeokimia secara global, karena kemampuannya menahan nutrien-nutrien dalam sistem terumbu dan perannya sebagai kolam untuk menampung segala bahan yang
berasal dari luar sistem terumbu (Anonim, 2009)
.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Nagelkerken et al., (2000) melaporkan bahwa beberapa spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove sebagai daerah asuhan tempat membesarkan juvenile (nursery ground). Kelimpahan dan kekayaan jenis (species richness) tertinggi ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove (Kelilaw, 2011).
Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh tepi (edge effect) seperti tampak pada penelitian Nagelkerken et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan daerah tepi yang saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar spesies sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut (Kelilaw, 2011).
Dalam hubungannya dengan rantai makanan di ekosistem terumbu karang, selain dimanfaatkan oleh hewan karang batu, plankton merupakan sumber makanan bagi semua ikan di ekosistem tersebut. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya. Melalui rantai makanan, yang dimulai dari fitoplankton akan memproduksi jenis-jenis biota yang keanekaragaman tinggi, mulai dari jenis avertebrata air laut hingga bermacam-macam ikan yang bisa dimanfaatkan sebagai panorama dasar laut atau dimanfaatkan untuk konsumsi  manusia (Trisyani, 2010).
Secara ekologis, terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan lautan serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan lautan. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di sekitar padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti: kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan perhubungan laut (Kelilaw, 2011).
Hutan mangrove sebagai bagian dari hutan tropis yang berada di ekoton antara terrestrial dan laut, tidak secara proporsional didiskusikan dalam siklus karbon global karena luasnya hanya 0,1% luas hutan didunia. Padahal hutan mangrove memiliki peran penting didalam siklus karbon oseanik. Karbon organik dibentuk oleh ekosistem mangrove dan lamun, kemudian dimineralisasi di zona pesisir. Selain itu produksi karbonat dan akumulasi karbon terjadi pula di zona ini oleh ekosistem terumbu karang (Ulumuddin, dkk., 2010).


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2011. Tentang Terumbu Karang. http://www.goblue.or.id
[22 Oktober 2011].
Anonim. 2010. Index Karang. http://www.ubb.ac.id [22 Oktober 2011].
Anonim. 2010.  Solusi Rehabilitas Terumbu Karang di Indonesia. http://www. munrow.com [22 Oktober 2011].
Anonim. 2008. Ekosistem Terumbu Karang, Definisi, Ragam dan Macam, serta Distribusinya. http://www.ubb.ac.id [26 Oktober 2011]
Anonim. 2009. Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang. http://www.scribd.com
[22 Oktober 2011].
Dewi, E. S. 2011. Ekosistem Terumbu Karang. http://www.damandiri.or.id
            [ 25 Oktober 2011]
DKP Kab. Oki. 2011. Lestarikan Terumbu Karang Indonesia. http://www.dkp.kaboki.go.id [26 Oktober 2011]
Erni. 2007. Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang. http://www.shvoong.com [25 Oktober 2011]
Fadli, Nur. 2008. Tingkat Kelangsungan Hidup Fragmen Karang Acropora formosa yang Ditransplantasikan pada Media Buatan yang Terbuat dari Pecahan Karang (RUBBLE). Universitas Syah Kuala. Banda Aceh.
Iwan. 2009. Oseanografi. http://iwangeodrsgurugeografismamuhammadiyah1
            tasikmalaya.yolasite.com [22 Oktober 2011].
Kelilauw, Syah. 2011. Hubungan Ekologis dan Biologis yang Terjadi antara Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. http://www.syahkelilauw.com [25 Oktober 2011].
Kunarso. 2008. Terumbu Karang dalam Masalah dan Terancam Bahaya.
Staf Pengajar Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
Maduppa, H. 2008. Terumbu Karang Hewan atau Tumbuhan. http://netsains.com
             [22 Oktober 2011].
Nybakken, J. W, 1988. Biologi Laut. PT. Gramedia. Jakarta.
Pradono. 1998. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. BPFE. Yogyakarta.
Prawiro. 1983. Ekonomi Sumberdaya. Penerbit Alumni ITB. Bandung.
Sjamsoeddin, S.B.S. 1997. Tinjaun Terhadap Kebijakan dan Strategi Nasional Konservasi Ekosistem Terumbu Karang. http://www.isjd.pdii.lipi.go.id
[23 Oktober 2011].
Soerjani, Moh., dkk. 1987. Lingkungan Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah
            Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogjakarta.
Trisyani, N., 2010. Kelimpahan Fitoplankton di Lokasi Penanaman Terumbu Karang Buatan Desa Nginmboh, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik. Oseana Volume XXXV, Nomor 2, Tahun 2010 : 39-46, LIPI. Jakarta.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut. Brilian Internasional. Sidoarjo.
Ulumuddin, dkk., 2010. Mangrove dan Lamun Dalam Siklus Karbon Global. Oseana Volume XXXV, Nomor 2, Tahun 2010 : 39-46. LIPI. Jakarta.
Wibisono, M. S, 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Tidak ada komentar: