Senin, 09 Juni 2014

Kesalahan Penataan Ruang Dalam Pembangunan Infrastruktur Ladia Galaska



PENDAHULUAN

Sistem perencanaan pembangunan Nasional dan perencanaan tata ruang sama-sama menekankan suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui urutan pilihan (prioritas) secara berhirarki dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia. Namun, perencanaan tata ruang memiliki fokus kepada aspek fisik spasial yang mencakup perencanaan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Proses perencanaan tata ruang dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan input, proses dan output. Input yang digunakan adalah keadaan fisik seperti kondisi alam dan geografis, sosial budaya seperti demografi sebaran penduduk, ekonomi seperti lokasi pusat kegiatan perdagangan yang ada maupun yang potensial dan aspek strategis nasional lainnya.
Persoalan yang cukup mendapat sorotan adalah apakah negara-negara sedang berkembang harus mengorbankan kepribadian nasional demi keuntungan-keuntungan ekonomi yang dijanjikan oleh proses modernisasi. Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek sampingan dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, kebersihan dan terutama pada kesehatan masyarakat, sedang dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan sering kali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin.

Infrastruktur fisik, terutama jaringan transportasi, memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah maupun terhadap kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat. Dalam konteks ekonomi, infrastruktur sebagai modal sosial masyarakat merupakan tempat bertumpu perkembangan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak mungkin dicapai tanpa ketersediaan infrastruktur yang memadai. Namun penting bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki kompatibilitas dengan kondisi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah pengembangan, sehingga dilakukan penataan ruang agar terbentuk alokasi ruang yang menjamin kompatibilitas tersebut.

Untuk mendukung perwujudan konsep pengembangan Wilayah Sumatera yaitu mengembangkan Sumatera menjadi wilayah yang maju dan sebagai satu kesatuan sistem keruangan yang terpadu, dengan memperhatikan kondisi fisik, geografis dan sosial ekonomi serta mengembangkan Sumatera dengan orientasi global serta memperbesar peluang terjadinya interaksi dengan kawasan pertumbuhan dalam lingkup regional dan internasional, maka dirumuskan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk strategi pemanfaatan ruang, strategi pengembangan sistem kota dan strategi pengembangan infrastruktur yang merupakan langkah-langkah operasional mengimplementasikan rencana tata ruang. Dalam pembangunan jalan berbasis penataan ruang, dukungan transportasi dalam perwujudan rencana pengembangan ruang wilayah Sumatera ke depan dirumuskan ke dalam strategi spasial pengembangan sistem jaringan transportasi.

Sistem perencanaan ruang wilayah secara substansial diselenggarakan secara berhirarkis yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Propinsi dan RTRW Kabupaten/Kota yang selanjutnya masing-masing dijabarkan operasionalisasinya dalam rencana yang sifatnya lebih rinci. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang dengan horizon waktu hingga 25 tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : 1.000.000. RTRW Pulau pada dasarnya merupakan instrumen operasionalisasi dari RTRWN. RTRW Propinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : 250.000.

STUDI KASUS LADIA GALASKA
 
Pembangunan jalan raya dari Meulaboh, Aceh Barat, di Selat India melalui tanah Gayo Alas ke Perlak, Aceh Utara, di Selat Malaka dan dijuluki jalan raya Ladia Galaska. Rencana ini mencakup 470 km jalan utama, 713 km jalan pengembangan, dan 369 km jalan mendukung yang melewati Kawasan Ekosistem Leuser. Biaya anggaran ditaksir Rp 1 triliun. Sudah dibangun 20 km jalan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), tanpa studi kelayakan dan studi arus asal dan tujuan barang serta penumpang, tanpa dukungan rencana tata ruang dan melanggar Undang-Undang Pokok Kehutanan dengan melintasi Kawasan Ekosistem Leuser yang terikat kesepakatan kerja sama antara Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia.
Dengan dana Rp 1 triliun, dapat direhabilitasi dan dinaikkan bobot jalan utama dari Singkil-Tapak Tuan-Meulaboh ke Banda Aceh di pantai Aceh Barat, Lautan India, untuk dihubungkan dengan Langsa- Peureula-Lhok Seumawe-Bireuen-Sigli ke Banda Aceh di pantai Aceh Utara, Selat Malaka. Dan, dari Bireuen dapat direhabilitasi jalan melalui Takengon ke Blangkejeran di tanah Gayo Alas.



Gambar 1. Peta Lokasi Pembangunan Proyek Ladia Galaska


Wahana Lingkungan Hidup Aceh (WALHI Aceh) memasukan Peninjauan Kembali (PK) keputusan Mahkamah Agung (MA) RI atas kasuspembangunan jalan Ladia Galaska melalui Pengadilan Negeri Banda Aceh. WALHI Aceh telahmengumpulkan bukti-bukti baru (novum) atas kerusakan lingkungan akibat pembangunan jalanLadia Galaska di kawasan hutan lindung.
Adapun novum-novum tersebut antara lain :
1.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PP No.28 Tahun 1985 menentukan bahwa : “Kawasan hutan dan hutan cadangan DILARANG dikerjakan atau diduduki TANPA IZIN MENTERI”. Menteri adalah Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 5 PP ini). “Hutan lainnya dikerjakan oleh yang berhak sesuai dengan petunjuk Menteri”. Pasal 8 ayat (2) PP No.28 Tahun 1985 menentukan bahwa: “Siapa pun DILARANG melakukanpenebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai dananak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya”. Pasal50 ayat (3) huruf c. UU No.41 Tahun 1999.
2.      Sekalipun PP No.28 Tahun 1985 dinyatakan telah dicabut secara formal oleh Pasal 56Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.45 Tahun 2004 TentangPerlindungan Hutan,akan tetapi normatif-substantifnya masih tetap berlaku dan mengikat sepanjang kewenanganatributif dan delegatifnya adalah belum ditetapkan dalam peraturan perundang-undangandibawahnya sebagai turunan PP No.45 Tahun 2004 tersebut. Apa lagi secara prosedural padamasanya gugatan ini sebagai hokum positif terhadap PP No.28 Tahun 1985. (Bukti PK-2)
3.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan danPenyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan KawasanHutan.Pasal 72 ayat (3 huruf b.), ayat (5 huruf a.) dan ayat (6) PP ini menentukan bahwa,”Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan umum terbatas, antara lain meliputi kegiatanpembangunan (a). Jalan umum dan jalan kereta api, diatur lebih lanjut dengan KeputusanPresiden”.
4.      Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan KawasanLindung. Pasal 8 Keppres ini menentukan bahwa:
a.       Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihinilai skor 175, dan atau
b.      Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih dan atau;
c.       Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih.Pasal 39 ayat (1) “Pemerintah Tingkat II wajib mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasanhutan lindung”.
5.      Keputusan Presiden R.I. No.33 Tahun 1998 Tentang Pengelolaan Kawasan EkosistemLeuser.
6.      Keputusan Menteri Kehutanan R.I. No.190/Kpts-II/2001 Tentang Pengesahan BatasKawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tanggal 29 Juni 2001.
7.      Surat, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) Wilayah Aceh, PemerintahAceh, tanggal 24 Maret 2011, Nomor: 522.1/071/III/2011, hal: Permintaan Data Ladia Galaska,karena surat dari Pemohon PK tgl 23 Maret 2011, Nomor:37/DE/ WALHI Aceh/III/2011, hal:Permintaan Data Ladia Galaska.
8.      Surat, Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, Februari – 2009, Kawasan EkosistemLeuser Sebagai Kawasan Strategis Nasional.

9.      Surat, Tapal Batas Kawasan Ekosistem Leuser (SK Menteri Kehutanan No.190/Kpts-II/2001).

            Namun Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) RI menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap proyek pembangunan jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak 2002-2007. Menurut MA, proyek itu tidak melanggar analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

 Mengenai turunnya putusan MA tersebut diterima Serambi dari Juru Sita Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh Budiwansyah SH. Menurutnya, beberapa hari lalu PN Banda Aceh menerima pemberitahuan dan putusan PK itu dari majelis hakim MA. Selanjutnya, Budiwansyah atas perintah Ketua PN Banda Aceh mengirim relas pemberitahuan putusan itu kepada Pemerintah Aceh melalui Kepala Biro Hukum dan Humas Pemerintah Aceh, Makmur Ibrahim SH MHum pada 30 Juli 2012. Ditemui terpisah, Kabag Humas Pemerintah Aceh, Usamah El-Madny membenarkan pihaknya telah menerima berkas putusan MA itu. Dalam putusan bernomor 730 PK/Pdt/2011 yang diperlihatkan Usamah, pertimbangan hukum majelis hakim MA adalah menyatakan tidak terbukti proyek pembangunan jalan Ladia Galaska seperti diungkapkan Walhi, seperti merambah hutan lindung dalam Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), merusak ekologis, mengakibatkan longsor, dan lain-lain.




Gambar 2. Proyek Ladia Galaska





Awalnya Walhi menggugat Pemerintah Aceh ke PN Banda Aceh karena menilai proyek jalan dan jembatan di kawasan Ladia Galaska telah melanggar UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, merusak lingkungan hidup, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) karena memotong kawasan hutan lindung, mengganggu lingkungan hidup satwa, fauna, dan flora, menyebabkan hutan gundul yang akan mengakibatkan banjir besar dan tanah longsor. Gugatan Walhi di pengadilan tingkat pertama itu ditolak karena tidak terbukti. Tak terima itu, Walhi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh, tapi juga ditolak karena tak terbukti. Kemudian, mereka mengajukan kasasi ke MA, juga ditolak karena alasan yang sama Akhirnya, mereka menempuh upaya hukum terakhir, yaitu mengajukan permohonan PK ke MA dengan mengajukan bukti baru, tapi upaya hukum terakhir itu pun juga tak terbukti.

Walhi mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan proyek Ladia Galaska yang meliputi jalan Jeuram-Beutong Ateuh-Takengon (128 km), jalan Blangkejeren-Pinding-Lokop-Peureulak (170 km), dan jalan Takengon-Ise-ise-Blangkejeren (156 km) yang dilaksanaan Pemerintah Aceh tahun 2002-2007.

Walhi menilai, proyek jalan dan jembatan di kawasan Ladia Galaska itu telah melanggar UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, merusak lingkungan hidup dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), karena memotong kawasan hutan lindung, mengganggu lingkungan hidup satwa, fauna, dan flora, berdampak gundulnya hutan yang mengakibatkan banjir besar dan tanah longsor.

Pemerintah Aceh dan pihak legislatif sempat sangat girang ketika Mahkamah Agung (MA) berdasarkan Surat Keputusan MA Nomor 1343K/Pdt/2007 Tanggal 12 Agustus 2008 menolak permohonan kasasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) terkait tiga proyek jalan Ladia Galaska (Lautan Hindia, Gayo Alas, dan Selat Malaka) yang dilaksanakan Pemerintah Aceh sejak tahun 2002-2007.

Proyek jalan tembus yang dimaksud dalam proyek Ladia Galaska itu tetap akan dilanjutkan hingga tembus. Cita-cita dan misi dari pembuatan proyek Ladia Galaska itu untuk menghapus isolasi transportasi antara wilayah, yaitu Aceh pedalaman dengan pantai timur utara dan pantai barat-selatan Aceh. Nama proyek itu sekarang sudah diganti, tidak lagi Ladia Galaska, melainkan proyek jalan penghubung antarlintas wilayah Aceh pedalaman dengan pantai timur-utara dan pantai barat-selatan Aceh.

Pihak walhi tidak menyerah di tengah kegembiraan eksekutif-legislatif atas putusan MA Nomor 1343K/Pdt/2007 Tanggal 12 Agustus 2008, ternyata Walhi tidak menyerah. Malah, Walhi tetap melanjutkan proses hukum terhadap bagian proyek Ladia Galaska dengan mengambil kesempatan Peninjauan Kembali (PK). Walhi sama sekali tidak menolak pembangunan jalan yang akan bermanfaat bagi kemajuan masyarakat Aceh sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tetapi Walhi hanya mempersoalkan sebagian dari ruas-ruas jalan Ladia Galaska yakni ruas yang masuk ke dalam kawasan hutan lindung dan konservasi seperti Hutan Lindung Burlintang, Hutan Lindung Singgahmata Gayo, Kawasan Ekosistem Leuser, dan dua bagian lainnya. Walhi menyarankan agar ruas-ruas tersebut dialihkan sehingga tidak masuk ke kawasan konservasi dan pembangunan tidak perlu terhambat. Namun pemerintah tidak mengindahkan

Pejabat di Aceh harusnya memperhatikan Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh pada Pasal 150, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang yang diturunkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2007 tentang RTRWN yang mengatur kegiatan dalam KSN berstatus lindung. “Peraturan-peraturan tersebut mengancam pejabat negara yang tidak mengindahkannya dengan pidana penjara antara 3-5 tahun dan denda hingga Rp 500 juta.”

Walhi menyatakan keprihatinan karena selama beberapa tahun belakangan ini di sepanjang ruas-ruas Ladia Galaska telah terjadi rentetan bencana alam, dengan rincian 26 kali di Nagan Raya, delapan kali di Aceh Tengah, 23 kali di Aceh Timur, sembilan kali di Gayo Lues, dua kali di Bener Meriah, dan 19 kali di Aceh Tenggara.

Kini, di tengah belum berakhirnya keprihatinan Walhi, MA kembali mementahkan upaya hukum yang dilakukan organisasi ini melalui Peninjauan Kembali (PK).

Tetapi pemerintah aceh menyambut baik putusan PK majelis hakim MA itu. Dengan demikian pemerintah sudah bisa lebih fokus untuk melanjutkan pembangunan yang sebelumnya terhalang proses hukum. Begitu pun, kita juga mengucapkan terima kasih dan memberi apresiasi kepada walhi. Dengan adanya gugatan mereka, maka keabsahan tentang pembangunan jalan itu sudah benar-benar diuji proses hukum.  

Secara resmi walhi aceh belum menerima putusan tersebut, tapi mungkin dikirim langsung ke walhi pusat di jakarta. Kita tetap menyambut baik putusan itu dan mempersilakan pemerintah aceh melanjutkan pembangunan. Dari awal kita tidak bermaksud menghalangi pembangunan, melainkan mengingatkan untuk meminimalisir kerusakan lingkungan. Karena itu, kita tetap berharap pemerintah mencari jalur-jalur alternatif untuk meminimalisir kerusakan yang akhirnya juga berdampak terhadap masyarakat.



Sumber:

1. Dardak, H. 2005.Pengembangan Jaringan Jalan Wilayah Sumatera Berbasis Penataan Ruang. Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum.

2.      WALHI. 2011. WALHI Aceh Ajukan PK Ladia Galaska.

3.      Warta Warga. 2007. Konflik Sosial Pengembangan Proyek Ladia Galaska.