Senin, 09 Juni 2014

Efek Tepi (Edge Effect) Pada Kawasan Konservasi



Sebagian kawasan hutan di negara berkembang terutama di daerah tropis mengalami perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan, pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak beberapa dekade yang lalu. Akibatnya, hutan yang awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok kecil kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan hutan tersebut dapat dikategorikan sebagai fragmentasi habitat. Perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, sayangnya, juga terjadi di kawasan konservasi, seperti taman nasional dan cagar alam.
Situasi masalah yang dihadapi dalam perlindungan dan pengamanan hutan adalah gangguan kawasan. Jenis-jenis gangguan meliputi : 1). Gangguan terhadap kawasan hutan, hutan cadangan dan hutan lainnya, 2). Gangguan terhadap tanah hutan, 3). Gangguan terhadap tegakan hutan, 4). Gangguan terhadap hasil hutan 5). Gangguan terhadap flora dan fauna yang dilindungi. Gangguan keamanan hutan umumnya ditimbulkan oleh beberapa penyebab yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Secara terpisah, beberapa penyebab gangguan tersebut adalah : 1) manusia, 2) api, 3) hewan, 4) hama dan penyakit, dan 5) alam (Dephut 1985).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, gangguan kawasan yang kebanyakan terjadi pada kawasan taman nasional adalah gangguan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia seperti : illegal logging, perambahan, perburuan liar, penambangan tanpa ijin. Gangguan kawasan tersebut dapat mengancam keutuhan dan kelestarian kawasan taman nasional. Gangguan terhadap keutuhan suatu kawasan konservasi pada dasarnya akan mengikuti teori pengaruh tepi (edge effect theory).
Perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan, peminjaman atau pelepasan kawasan. Pembangunan jalan yang membelah Taman Nasional Kutai adalah salah satu contoh yang sangat nyata. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam kawasan konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan yang ada. Hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut. Perubahan struktur dan komposisi tumbuhan ini pada akhirnya akan membentuk habitat tepi (habitat edge) atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah ekoton. Kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi lingkungan di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan memiliki dampak ekologis terhadap tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak dari bertemunya dua kondisi lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan dan hewan dapat di sebut efek tepi (edge effect).
Berdasarkan teori pengaruh tepi menyatakan bahwa setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu. Selain dirusak dalam arti yang sebenarnya, habitat-habitat yang semula luas tidak terpecah-pecah kini terbelah-belah menjadi beberapa bagian oleh jalan, lapangan, kota, dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan oleh manusia. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terisolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah diubah. Seringkali pada bentang alam tersebut daerah tepinya mengalami serangkaian perubahan kondisi, yang dikenal dengan istilah efek tepi.
Efek tepi adalah perbedaan dalam faktor biotik atau abiotik yang terjadi di perbatasan dari suatu fragmen habitat relatif terhadap daerah interior habitat tersebut. Efek tepi dapat terlihat dari perubahan gradual mikroklimat serta pola vegetasi dari tepi hingga ke interior hutan. Efek tepi dapat mempengaruhi struktur, fungsi dan komposisi hutan, dan bahkan mengarah pada degradasi fragmen hutan (Harper dkk., 2005).
Hasil-hasil temuan dari penelitian efek tepi di atas sesungguhnya memiliki implikasi bagi konservasi. Sikap kehati-hatian dalam mengambil kebijakan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasar pada kajian para peneliti biologi konservasi sehingga pengaruh efek tepi dapat diminimalisir. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait prinsip di atas, antara lain:
1.      Fragmen hutan yang berukuran kecil memiliki pengaruh efek tepi negatif yang lebih besar dibandingkan dengan fragmen hutan yang berukuran besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara luas fragmen hutan dengan keanekaragaman dan kemelimpahan jenis tumbuhan dan hewan. Seberapa kecil fragmen hutan yang dapat menunjang keanekaragaman hayati tergantung jenis tumbuhan atau hewan yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di suatu wilayah.
2.      Bentuk fragmen hutan yang tersisa mempengaruhi intensitas dari pengaruh efek tepi terhadap tumbuhan dan satwa. Peneliti dari Australia, Williams dan Pearson, membuktikan adanya pengaruh bentuk fragmen hutan terhadap vertebrata (hewan bertulang belakang) endemik di bioregion Wet Tropics, Australia. Pengaruh bentuk ini terjadi jika fragmen hutan memiliki bentuk yang tidak beraturan dan daerah yang tidak terkena efek tepi berukuran kecil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu intern dan ekstern. Faktor-faktor intern yaitu : keadaan hutan, aparatur, sarana dan prasarana serta dana, sedangkan faktor ekstern berupa pengaruh pembangunan, keadaan sosial, ekonomi, sosial budaya, kesadaran masyarakat serta faktor politis (Dephut 1985).
Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial budaya. Merancang kawasan konservasi hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting yaitu ;
a)      Ukuran, semakin luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak.
b)      Bentuk; bentuk kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi (edge to area). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi.
c)      Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara kelengkapan gradien dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis nomadik.
d)     Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air - HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak di dalam kawasan konservasi.
e)      Koridor: Apabila mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya 200-400 m (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Hal ini akan memfasilitasi pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies et al., 2001; Fimbel, Bennett & Kremen, 2001). Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridor-koridor tambahan harus ditetapkan.
f)       Perwakilan ekosistem: Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang.

Sumber acuan :
Fardila, D. 2011. Efek Tepi Koridor Jalan Di Hutan Bukit Pohen, Cagar Alam Batukahu, Bali. Berk. Penel. Hayati: 17 (9–13). Jakarta.
Kuncoro, P. 2004. Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) Rehabilitan Di Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. Skripsi. Universitas Udayana. Bali.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

If you're trying hard to burn fat then you have to start following this totally brand new personalized keto plan.

To design this keto diet, licenced nutritionists, personal trainers, and cooks have joined together to develop keto meal plans that are effective, convenient, economically-efficient, and delightful.

Since their first launch in 2019, 100's of individuals have already transformed their body and well-being with the benefits a professional keto plan can provide.

Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones given by the keto plan.

Anonim mengatakan...

Paragraf tentang perubahan fungsi hutan itu hanya diubah sedikit dari tulisan yang dimuat di Wana Tropika Volume 4 No. 1/September 2010 (Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan). Kok tidak dicantumkan sumbernya?