BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesatnya perkembangan aktivitas industri perminyakan
akhir-akhir ini telah menyebabkan permasalahan lingkungan, salah satunya akibat
pencemaran yang dihasilkan dari minyak bumi yang tertumpah ke permukaan. Minyak
adalah pencemar utama di lautan. Tumpahan minyak baik yang berasal dari kegiatan
penambangan lepas pantai, kebocoran, kecelakaan kapal tanker dan lain
sebagainya menyebabkan minyak masuk ke dalam laut. Meski hanya terjadi dalam
jangka waktu yang pendek, hal ini dapat menimbulkan efek lokal yang serius
terhadap hewan dan tumbuhan yang berada di dalam laut. Selain itu Menurut
Peraturan Pemerintah No.19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau
Perusakan Laut, Pencemaran Laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan atau
fungsinya.
Lebih
dari 60% produksi minyak du-nia diangkut melalui laut dari Timur Tengah dan
Afrika ke negara konsumen seperti AmerikaSerikat, Eropa dan Jepang (WOLFE,
1985). Tingginya kadar minyak di Laut Utara, Mediterranean, Laut Norwegia dan
Selat Malaka berkaitan erat dengan pemanfaatan laut tersebut sebagai jalur
transportasi minyak. Penyulingan minyak di pantai yang memakai air laut sebagai
pendingin bisa menjadi sumber pencemaran minyak. Untuk menjaga keseimbangan
sewaktu kapal kosong, maka tanki-tanki disi dengan air (Air ballast). Air ini
dibuang ke laut sewaktu tanki-tanki akan diisi minyak. Air tersebut mengandung
minyak sehingga bisa menjadi sumber pencemar. Demikian juga dengan pencucian
tanki (Hutagalung, 1990).
Beberapa pencemaran yang menjadi perhatian masyarakat sekarang ini
diantaranya adalah pencemaran di daerah pantai yang diakibatkan oleh
tersemburnya minyak bumi ke permukaan laut. Pada umumnya, pengeboran minyak
bumi di laut dapat menyebabkan terjadinya peledakan di sumur minyak. Ledakan
ini mengakibatkan semburan minyak menyebar ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan
pencemaran. Ledakan anjungan minyak yang
terjadi di Teluk Meksiko sekitar 80 kilometer dari Pantai Louisiana pada 22
April 2010. Pencemaran laut yang diakibatkan oleh pengeboran minyak di lepas
pantai itu dikelola perusahaan minyak British Petroleum. Ledakan itu
memompa minyak mentah 8.000 barel atau 336.000 galon minyak ke perairan
di sekitarnya dan daerah pantai (Pitakasari, 2010).
Berdasarkan permasalahan di atas maka dianggap perlu untuk menanggulangi
dampak kerusakan ekosistem laut Teluk Meksiko akibat tumpahan minyak dalam
bentuk restorasi dan rehabilitasi laut.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengetahui cara penanganan dampak pencemaran minyak
akibat tumpahan minyak pada pengeboran minyak di Teluk Meksiko dalam bentuk
pengambilan kebijakan restorasi dan rehabilitasi laut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Restorasi
Restorasi merupakan tindakan untuk membawa ekosistem yang
telah terdegradasi kembali, semirip mungkin, dengan kondisi aslinya. Restorasi
ekologi adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah
menurun, rusak, atau hancur. Restorasi juga mencakup tindakan pengelolaan pasif
atau tidak langsung untuk menghilangkan halangan dalam pemulihan alami, juga
intervensi aktif atau langsung seperti transplantasi. Sasaran kegiatan
restorasi harus diformulasikan di awal seteliti mungkin; cara yang paling
mungkin untuk mencapai kesuksesan adalah mempertimbangkan konteks perencanaan pengelolaan
pesisir yang luas. Target atau indikator yang dapat diukur harus disusun
sehingga dapat menghitung secara berkala, baik kemajuan terhadap sasaran maupun
pengelolaan adaptif dari kegiatan restorasi. Pengamatan kemajuan/perkembangan
terhadap target harus dilaksanakan pada interval waktu yang tetap selama
beberapa tahun (Edward, 2007).
Dalam upaya restorasi,
terdapat empat kegiatan kunci, yaitu restorasi, rehabilitasi, remediasi, dan
reklamasi. Restorasi merupakan proses
pemulihan suatu ekosistem ke keadaan seperti keadaan semula sebelum terjadinya
kerusakan dalam ekosistem tersebut. Rehabilitasi merupakan tindakan
mengembalikan kondisi sesuatu yang rusak ke keadaan seperti sebelumnya yang
lebih baik. Rehabilitasi ini mendekati tujuan yang diharapkan oleh proses restorasi.
Remediasi merupakan proses perbaikan atau membuat kondisi ekosistem menjadi
baik kembali. Remediasi lebih menekankan kepada proses yang dilakukan daripada
pencapaian akhirnya. Reklamasi merupakan proses untuk mengondisikan suatu lahan
cocok untuk ditanami (Imansyah, 2010).
Mencermati uraian pentingnya konservasi sumberdaya
alam hayati; dengan demikian konsep pengembangan pemulihan kawasan mangrove
dalam bidang konservasi dapat dilakukan melalui: (1) penanganan dan
pengendalian lingkungan fisik dari berbagai bentuk faktor penyebabnya, (2)
pemulihan secara ekologis baik terhadap habitat maupun kehidupannya, (3)
mengharmoniskan perilaku lingkungan sosial untuk tujuan mengenal, mengetahui,
mengerti, memahami hingga pada akhirnya merasa peduli dan ikut bertanggung
jawab untuk mempertahankan, melestarikannya, serta (4) meningkatkan
akutabilitas kinerja institusi yang bertanggung jawab dan atau pihak-pihak
terkait lainnya. Adapun langkah-langkah kongkrit yang dilakukan untuk tujuan
pengendalian lingkungan fisik, antara lain dengan melakukan kegiatan: (a)
pembinaan dan peningkatan kualitas habitat, dan (b) peningkatan pemulihan
kualitas kawasan hijau melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, dan atau
perkayaan jenis tetumbuhan yang sesuai (Waryono, 2002).
Restorasi ekosistem
adalah suatu upaya mengembalikan kondisi alamiah kawasan dengan tujuan
memperoleh kembali keanekaragaman hayati, struktur, dan lainnya di kawasan
tersebut. Kegiatan restorasi diberikan untuk membangun kawasan yang memiliki
ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya
melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem kawasan
termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran
flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur
non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang
asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya (Asmui, 2013).
2.2 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah
usaha memperbaiki, memulihkan kembali, meningkatkan kondisi kawasan yang rusak
atau kritis agar dapat berfungsi secara optimal. Rehabilitasi merupakan tindakan untuk menempatkan kembali sebagian
atau, terkadang, seluruh struktur atau karakteristik fungsional dari suatu
ekosistem yang telah hilang, atau substitusi dari alternatif yang berkualitas
atau berkarakteristik lebih baik dengan yang saat ini ada dengan pandangan
bahwa mereka memiliki nilai sosial, ekonomi atau ekologi dibandingkan kondisi
sebelumnya yang rusak atau terdegradasi (Edward, 2007).
2.3 Tumpahan Minyak
Limbah minyak adalah buangan yang berasal dari hasil
eksplorasi produksi minyak, pemeliharaan fasilitas produksi, fasilitas
penyimpanan, pemrosesan, dan tangki penyimpanan minyak kapal laut. Limbah
minyak bersifat mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun,
menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. Limbah minyak merupakan bahan yang
dapat mencemarkan dan membahayakan lingkungan hidup, serta kelangsungan hidup
manusia dan mahluk hidup lainnya. Limbah minyak terjadi dikarenakan oleh dua
sebab utama yaitu: pengeboran di laut, pengeboran minyak bumi di laut
menyebabkan terjadinya peledakan (blow out) di sumur minyak. Ledakan ini
mengakibatkan semburan minyak ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan
pencemaran. Dan tumpahan minyak dilaut
bersal dari kecelakaan dari kapal tanker (Aimus, 2010).
Tumpahan minyak bumi dapat mempengaruhiaktivitas di pantai
dan eksploitasi sumberdaya lautan, sehingga berdampak serius terhadap
perekonomian. Dalam banyak kasus, kerusakan ini bersifat temporer akibat
sifat fisik minyak yang menyebabkan kondisi tidaknyaman dan berbahaya. Dampak
terhadap kehidupanbiota laut terkait dengan toksisitas dan menempelnyasenyawa
minyak bumi, serta sensivitas makhluk hidupterhadap polusi minyak bumi. Hal ini
dapat menurunkandiversitas dan variabilitas mahluk hidup (Anggoro, 2012).
Pemahaman sifat kimia minyak bumi yang tertumpah sangat
penting untuk merununkan akibat yang mungkin ditimbulkan terhadap makhluk
hidup. Minyak bumi dapat mempengaruhi fungsi fisiologi makhluk hidup dan meracuni
kehidupan. Misalnya, senyawa alifatis minyak dengan berat molekul rendah
bersifat anastesi dan senyawa aromatis seperti benzin bersifat karsinogen dan sangat
beracun. Senyawa aromatis ini dapat terkonsentrasi pada jaringan makanan,
khususnya pada jenis-jenis kerang dan bentos lain. Komponen volatil minyak
bumi dapat memerahkan mata, kulit, iritasi, dan mengelupaskan selaput tipis
pada hidung, mata, dan mulut. Hidrokarbon dapat memicu pneumonia jika mencapai
paru. Benzin, toluen, dan hidrokarbon ringan lainnya apabila terhirup akan
segera diangkut ke aliran darah sehingga dapat merusak sel darah merah,
menurunkan sistem kekebalan hati, limpa, dan ginjal, serta mempengaruhi sistem
reproduksi pada hewan dan manusia (Nugroho, 2011).
Tumpahan
minyak di laut akan terbawa ke kawasan mangrove pada saat air pasang, lalu
ketika air surut akan
terdeposit di permukaan sedimen dan akar pohon. Pola pasang harian yang
berubah-ubah menyebabkan setiap tempat mendapatkan pengaruh yang berbeda-beda.
Pada kondisi pencemaran berat, tumbuhan mangrove dapat mati akibat pori-pori
pneumatofora tertutup minyak. Mangrove juga dapat mati akibat terserapnya
minyak oleh sedimen. Senyawa aromatis minyak bumi dengan berat molekul rendah
yang terserap sedimen tanah dapat merusak membran sel akar, sehingga garam
dapat masuk ke jaringan dan terjadi keracunan. Tumpahan minyak dapat menyebabkan
kerusakan yang akut dan kronis, termasuk reduksi tinggi batang, kerapatan pohon
dan biomassa, serta kematian tumbuhan (Setyawan, 2008).
Minyak bumi yang telah dikilang umumnya lebih toksik
terhadap manusia, namun lebih mudah didegradasi oleh lingkungan. Komposisi
minyak bumi mempengaruhi perilaku, daya tahan terhadap cuaca, dan pengaruh
buruknya terhadap lingkungan. Hal ini meliputi volatilitas hidrokarbon ke
udara, kelarutan komponen toksis ke laut, pembentukan dan stabilitas emulsi,
laju dispersi, daya tahan mengapung, dan laju biodegradasi alami. Setiap fraksi
minyak hasil kilangan memiliki perilaku yang berbeda-beda, sehingga pengaruhnya
sulit diprediksi. Misalnya, beberapa fraksi akan segera menguap di udara
sebaliknya fraksi lain cenderung bertahan lama di alam. Kondisi angin dan air
laut dapat mengubah pengaruh minyak terhadap hidupan liar.Misalnya, di laut
yang hangat dengan angin kuat, evaporasi dapat menghilangkan senyawa aromatis dengan
berat molekul rendah, sehingga tidak terlarutdalam air, mempengaruhi kehidupan
laut, dan memasuki rantai makanan (Waryono, 2002).
Keberadaan vegetasi tumbuhan juga dapat mereduksi kandungan
minyak dalam tanah karena diserap oleh tumbuhan. Hidrokarbon minyak ini diserap
dari sedimen dan diakumulasi dalam bentuk hidrokarbon atau total lipid pada
bagian aerial tumbuhan. Tanah yang subur, misalnya karena pemupukan, dapat
meningkatkan biomassa tumbuhan sehingga memperbesar kemampuan menyerap
minyak dari tanah. Di samping itu, bertambahnya biomassa tumbuhan menyebabkan
lebih banyak bahan organik dilepaskan dari akar tumbuhan kerhizosfer, membentuk
mikrohabitat kaya bahan organikyang sesuai untuk pertumbuhan mikrobia sehingga mendorong
terjadinya degradasi minyak oleh mikrobia. Aktivitas mikrobia lebih tinggi pada
rhizosfer daripada bagian tanah lainnya. Hal ini disebabkan adanya pelepasan
enzim-enzim, zat hara, dan sumber karbon dari akar tumbuhan untuk digunakan
mikrobia (Setyawan, 2008).
BAB
III
TUMPAHAN
MINYAK TELUK MEKSIKO
3.1 Kronologi
20 April 2010
Ledakan pengeboran minyak Deepwater
Horizon, menewaskan 11 orang. Bor terbakar selama 36 jam sebelum akhirnya
tenggelam ke dasar laut.
30 Mei
2010
Tumpahan minyak sampai ke pantai
Louisiana dan AS mulai melakukan penyelidikan kriminal.
6 Juni 2010
British Petroleum (BP) sepakat
mengeluarkan dana US$20 miliar untuk membayar klaim dari nelayan dan bisnis
lainya yang terganggu akibat tumpahan minyak.
1 Juli 2010
Tumpahan minyak mencapai lebih dari
140 juta galon, terburuk dalam sejarah tumpahan minyak.
8 September 2010
Dalam sebuah laporan setebal 193
halaman, BP menuduh kontraktor sumur Halliburton dan pemilik bor Transocean
bertanggung jawab atas insiden. Keduanya membantah.
19
September 2010
BP berhasil menutup bocoran.
15
Desember 2010
AS resmi ajukan tuntutan hukum
kepada BP dan rekannya.
12 Januari
2011
Laporan komisi pemerintah menyatakan
penghematan BP menyebabkan bencana.
15 Nov
2012
BP sepakat bayar US$4,5 miliar ke
pemerintah AS, dua pejabat BP didakwa pembunuhan dan mantan kepala eksekutif
didakwa berbohong.
28 Nov
2012
BP
untuk sementara waktu dilarang dari kontrak AS. Sampai saat pencabutan izin BP
telah mencemari 70 juta liter minyak mentah ke Teluk Meksiko (Setiawan, 2013).
Salah
satu bahan cemaran di laut yang paling luas tersebar dan sering terjadi adalah
minyak mineral. Sebenarnya pencemaran laut oleh minyak mineral sudah ada sejak
berabad-abad yang lampau sebagai akibat rembesan minyak secara alami dari dalam
bumi, seperti yang terjadi di Santa Barbara, California, Amerika Serikat dan di
Teluk Cariaco, Venezuela. Pada saat itu manusia belum mengetahui bahaya minyak
mineral terhadap organisme per-airan. Pada bulan Maret 1957 kapal tanker
"Tampico Maru" mengalami kecelakaan di Baja, California dan
menumpahkan 55.220 barrel minyak mineral. Kejadian ini telah membunuh beberapa
jenis organisme laut di daerah tersebut (Hutagalung, 1990).
Masalah
pencemaran minyak di laut mulai mendapat perhatian yang serius dari masyarakat
pada tahun 1967. Pada waktu itu sebanyak 821.000 banel minyak tumpah lagi di
perairan Seven Stones Reef, Inggris akibat pecahnya kapal tanker "Torrey
Ca-nyon". Kejadian ini jugs menyebabkan ke-matian massal berbagai jenis
organisme laut. Pada tanggal 24 Maret 1989, dunia kembali dikagetkan oleh
tumpahan 200.000 barrel minyak di Selat Prince William, Alas-ka akibat bocornya
kapal tanker raksasa "Exxon Valdes". Kasus ini membunuh ribu-an
burung, berang-berang, anjing laut dan singa laut. Dalam waktu 1 minggu minyak
ini telah menutupi permukaan laut seluas 260 km2. Hal yang paling
merisaukan ada-lah lapisan minyak tersebut mulai menye-bar menuju daerah
pemijahan ikan salmon yang merupakan sumber kehidupan nelayan Alaska.
Beberapa
pencemaran yang menjadi perhatian masyarakat sekarang ini diantaranya adalah
pencemaran di daerah pantai yang diakibatkan oleh tersemburnya minyak bumi ke
permukaan laut. Pada umumnya, pengeboran minyak bumi di laut dapat menyebabkan
terjadinya peledakan di sumur minyak. Ledakan ini mengakibatkan semburan minyak
menyebar ke lokasi sekitar laut, sehingga menimbulkan pencemaran. Ledakan anjungan minyak yang terjadi di Teluk
Meksiko sekitar 80 kilometer dari Pantai Louisiana pada 22 April 2010.
Pencemaran laut yang diakibatkan oleh pengeboran minyak di lepas pantai itu
dikelola perusahaan minyak British Petroleum. Ledakan itu memompa minyak
mentah 8.000 barel atau 336.000 galon minyak ke perairan di sekitarnya
dan daerah pantai.
3.2 Dampak Tumpahan Minyak Teluk
Meksiko
Tumpahan minyak yang meluas di Teluk Meksiko itu kini
mendekati pantai negara bagian Florida, dengan posisi tumpahan hanya 11
kilometer saja dari garis pantai. Sementara itu, hingga kini perusahaan minyak
raksasa BP masih bergelut membendung tumpahan itu. Gambar-gambar satelit yang
baru dari University of Miami, menurut laporan VOA menunjukkan tumpahan minyak
Teluk Meksiko, sekarang berukuran hampir sebesar negara bagian Maryland, yang
luasnya sudah lebih dari 24.000 kilometer persegi.
Burung-burung dan hewan lainnya itu menghuni 1.700 pulau di
Teluk Meksiko wilayah Florida. Gugus pulau ini membentang dari Florida Keys
hingga Key West yang legendaris itu. Kematian hewan-hewan itu sudah di depan
mata. Selain minyak menutupi muka laut, gumpalan minyak mengandung aspal
mencemari tengah hingga dasar laut.
Berdasarkan beberapa kasus telah banyak
kerugian yang dialami dan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran
minyak bumi di laut seperti:
1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari
material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi
batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Kontaminasi terhadap udara yang perlu
diperhatikan akan bahaya penguapan benzene karena mempunyai efek karsinogenik
kepada manusia. Keadaan ini semakin penting untuk diantisipasi apabila kejadian
tumpahan minyak berada dekat dengan lokasi penduduk yang padat. Dan benda
purbakala, cagar alam dan harta karun di dasar laut yang terkena minyak dapat
rusak atau berkurang nilai estetikanya. Oleh sebab itu nilai jualnya akan
berkurang.
2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal
dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan
kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup hingga
kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan
fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung.
Terumbu karang akan mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya
memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya. Minyak dapat
mempengaruhi kehidupan mangrove dan organisme lain yang berasosiasi pada
mangrove. Minyak dapat menutupi daun, menyumbat akar nafas, mencegah difusi
garam dan menghambat proses respirasi pada mangrove. Dan vegetasi bawah air
sangat sensitif terhadap kontaminasi minyak, karena vegetasi bawah air mimiliki
produktivitas yang tinggi, berperan dalam siklus nutrien, berfungsi sebagai
kawasan asuhan, mencari makan, dan berlindung berbagai spesies penting dan
komersial tinggi dari jenis-jenis ikan.
3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat
akibat keberadaan senyawa beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa
beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika jumlah fitoplankton
menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal
hewan-hewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan
kandungan protein yang tinggi.
4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat
kontak dengan racun slick (lapisan minyak di permukaan air). Selain itu,
terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick membuat
permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun
menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak
ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan
kedinginan yang pada akhirnya mati.
Menurut Lake Charles Center telah terjadi mutasi gen
akibat pencemaran tumpahan minyak Teluk Meksiko pada spesies ikan redfish,
trout berbintik-bintik dan flounder, serta jenis baitfish,
seperti udang, croacker dan ikan kecil cocahoe. Selain
itu juga, terjadi keanehan dari morfologi biota tangkapan di sekitar kepulauan
Florida diantaranya udang yang tidak memiliki mata (buta), kepiting yang
memiliki tubuh yang kurang sempurna: capit dan kaki yang tidak lengkap, serta
ikan tangkapan yang memiliki luka terbuka dan warna yang kecoklatan serta tubuh
yang berminyak.
Hingga saat ini jumlah hasil tangkapan nelayan sekitar Teluk
Meksiko masih tergolong rendah pasca ledakan anjungan pengeboran minyak. Hal
ini disebabkan matinya biota yang berada di perairan Teluk Meksiko akibat
selimut minyak mentah yang menyebar di dalamnya.
3.3 Penanggulangan Tumpahan Minyak
Teluk Meksiko
Pemerintah Amerika Serikat memberikan denda terhadap
perusahaan British Petroleum sebesar $20 milyar untuk kasus tumpahan minyak di
Teluk Meksiko. Denda tersebut dialokasikan untuk dana santunan kepada
masyarakat pesisir yang terkena dampak pencemaran dan kegiatan penangggulangan
pencemaran yang terjadi.
Penanggulangan tumpahan minyak dapat berupa restorasi
(pemulihan) dan rehabilitasi (memperbaiki kembali) keadaan lingkungan perairan
ke kondisi yang semirip mungkin dengan kondisi alamiah sebelumnya. Kegiatan
penanggulangan yang dilakukan belum tentu bisa mengembalikan kondisi seperti
sedia kala, tetapi dimaksudkan untuk mengembalikan seoptimal mungkin agar
lingkungan perairan yang tercemar tumpahan minyak kembali menjadi habitat hidup
biota laut dan mendukung setiap kehidupan biota laut.
Restorasi atau pemulihan dapat
dilakukan secara mekanis, kimiawi dan biologis. Restorasi secara mekanis
dilakukan dengan cara manual yaitu (1) memperangkap lapisan minyak dengan
pelampung pembatas kemudian akan ditransfer dengan
perangkat pemompa ke sebuah fasilitas kapal penerima; (2) jika langkah ini
tidak berhasil, bisa juga menggunakan materi yang ramah lingkungan. Seperti
penggunaan sorbent, bisa berupa serpihan kayu khusus, yang bisa menyisihkan
minyak melalui mekanisme adsorpsi dan absorpsi. Sorbent ini berfungsi mengubah
fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan;
(3) Pembakaran tumpahan minyak (in situ burning) dengan suhu rendah pada
permukaan lapisan minyak di permukaan air laut, akan tetapi metode ini
menghasilkan senyawa konsentrasi tinggi yang sangat beracun; dan (4) Static Kill adalah metode
penyumbatan lubang pengeboran dengan memompakan campuran lumpur pekat dan
semen. Dengan itu, minyak yang menyembur ditekan untuk kembali ke lapisan
cebakannya pada kedalaman sekitar 5.000 meter. Operasi penyumbatan ini
merupakan langkah pertama untuk menutup semburan minyak mentah di Teluk
Meksiko. Setelahnya, akan dilakukan langkah kedua, berupa pengeboran sumur pelepas
tekanan.
Restorasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan pemberian dispersan pada
lapisan minyak, yaitu kelompok bahan kimia berupa surfaktan (Corexit) yang didesain untuk dapat disemprotkan di atas tumpahan minyak untuk
mempercepat proses dispersi alamiah. Penyemprotan dispersan kadang-kadang
merupakan satu-satunya cara untuk mencegah minyak menyebar ke area yang lebih
luas, terutama apabila pengambilan secara mekanis tidak dapat dilakukan.
Dispersi secara alamiah akan terjadi apabila angin dan arus laut menyebabkan
lapisan minyak menjadi butiran-butiran (droplet) yang dapat tenggelam dalam
badan air. Akan tetapi, metode ini memiliki efek samping yaitu minyak,
asam lemak dan Corexit larut yang bersifat racun kemudian meracuni bakteri,
larva ikan, dan mikroorganisme lainnya sehingga sangat mudah diakumulasi dalam tubuh
organisme laut dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi.
Restorasi secara
biologis dilakukan dengan penaburan emulsi mikroorganisme pengurai minyak pada
lapisan minyak di permukaan laut. Mikroorganisme pengurai minyak yang terdapat
secara alami berada pada lokasi tumpahan minyak Teluk Meksiko adalah bakteri Alcanivorax
borkumensis dan Oceanospirillales sp. Bakteri tersebut mengurai lapisan minyak secara perlahan menjadi
senyawa yang lebih sederhana sehingga lapisan minyak terurai dan perlahan habis
terdegradasi oleh bakteri tersebut. Semakin banyak emulsi bakteri maka semakin
efektif proses penguraian minyak. Akan tetapi, hasil produk penguraian bakteri
merupakan senyawa yang beracun yaitu asam lemak dan senyawa aromatik
lebih mudah larut dalam air dibandingkan senyawa sebelumnya. Sehingga organisme
laut cebih cepat memakannya melalui rantai makanan.
Rehabilitasi yang dilakukan pada bencana tumpahan minyak
Teluk Meksiko adalah dibangunnya Pusat Pembenihan Ikan dan Pusat Penelitian
yang berlokasi di Lake Charles dan Pointe a la Hache. Lake Charles Center
akan memantau dan mempelajari spesies ikan yang mengalami perubahan
biomorfologi akibat pencemaran minyak di Teluk Meksiko seperti spesies ikan
redfish, trout berbintik-bintik dan flounder dan jenis baitfish,
seperti udang, croacker dan ikan kecil cocahoe. Selain
itu, diperlukan penangkaran bagi spesies lumba-lumba yang mati akibat
pencemaran minyak.
DAFTAR
PUSTAKA
Aimus. 2010. Penanggulangan
Tumpahan Minyak Teluk Meksiko. Diakses melalui http://lingkungan .net pada
tanggal 21 Mei 2013.
Aini, S.N. 2013. Pencemaran
Minyak Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Laut. Diakses melalui http://www.tcpdf.org pada tanggal 21 Mei 2013.
Anggoro, B. 2012. Pencemaran
Pada Teluk Meksiko. Diakses melalui http://www.prezi.com
pada tanggal 21 Mei 2013.
Asmui. 2013. Restorasi
Ekosistem: Solusi Inovatif Penyelamatan Biodiversitas Penting di Hutan Alam
Produksi Kawasan Wallacea. Diakses melalui http://wallacea.org pada tanggal 21 Mei 2013.
Edward, A. 2007. Konsep dan
Panduan Restorasi Terumbu Karang. Diakses melalui http://www.terangi.or.id pada tanggal 21
Mei 2013.
Fitria. 2013. Solusi Tumpahan
Minyak Di Lautan. Diakses melalui http://lingkungan.net
pada tanggal 21 Mei 2013.
Hutagalung, H. P. 1990.
Pengaruh Minyak Mineral Terhadap Organisme Laut. Oseana, Volume XV, Nomor 1 :
13 - 27 ISSN 0216-1877. LIPI. Jakarta.
Imansyah, M. J. 2010.
Restorasi Ekosistem. Diakses melalui http://consecol.com
pada tanggal 21 Mei 2013.
Koesoemawiria. 2013.
Penanganan Tumpahan Minyak Teluk Meksiko. Diakses melalui http://www.dw.de pada tanggal 21 Mei 2013.
Mukhtasor. 2007, Pencemaran
Pesisir Dan Laut. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Noach. 2013. Penanganan
Pencemaran Minyak. Diakses melalui http://www.timorexpress.com
pada tanggal 21 Mei 2013.
Nugroho, T.S. 2011. Upaya Pemerintah
Amerika Serikat Dalam Menyelesaikan Tumpahan Minyak Di Teluk Meksiko. Skripsi.
Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Yogyakarta.
Pitakasari, A. R. 2010. Teluk
Meksiko. Diakses melalui http://www.republika.co.id
pada tanggal 21 Mei 2013.
Scmidht, F. 2012. Sisa
Tumpahan Minyak Teluk Meksiko. Diakses melalui http://www.dw.de
pada tanggal 21 Mei 2013.
Setiawan, A. 2013. Fenomena
Pencemaran Minyak. Diakses melalui http://www.dw.de
pada tanggal 21 Mei 2013.
Setyawan, A. D. 2008. REVIEW:
Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove, Upaya Mitigasi dan
Restorasinya. Jurnal Ekosains 1
(1): 30-40.
Wahono. 2002. Rehabilitasi
Hutan. Diakses melalui http://tripod.com pada
tanggal 21 Mei 2013.
Waryono, T. 2002. Restorasi
Ekologi Hutan Mangrove: Studi Kasus DKI Jakarta. Jurusan Geografi. Universitas
Indonesia.
1 komentar:
thanks alot.. :) tulisannya sangat membantu saya
Posting Komentar