Sebagian kawasan hutan di negara berkembang terutama di
daerah tropis mengalami perubahan fungsi sehingga menjadi areal perternakan,
pertanian, dan daerah pengembangan kota sejak beberapa dekade yang lalu.
Akibatnya, hutan yang awalnya utuh kemudian menjadi kelompok-kelompok kecil
kawasan hutan. Proses terbentuknya kelompok kecil kawasan hutan tersebut dapat
dikategorikan sebagai fragmentasi habitat. Perubahan fungsi kawasan hutan
tersebut, sayangnya, juga terjadi di kawasan konservasi, seperti taman nasional
dan cagar alam.
Situasi masalah yang
dihadapi dalam perlindungan dan pengamanan hutan adalah gangguan kawasan.
Jenis-jenis gangguan meliputi : 1). Gangguan terhadap kawasan hutan, hutan
cadangan dan hutan lainnya, 2). Gangguan terhadap tanah hutan, 3). Gangguan
terhadap tegakan hutan, 4). Gangguan terhadap hasil hutan 5). Gangguan terhadap
flora dan fauna yang dilindungi. Gangguan keamanan hutan umumnya ditimbulkan oleh
beberapa penyebab yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.
Secara terpisah, beberapa penyebab gangguan tersebut adalah : 1) manusia, 2)
api, 3) hewan, 4) hama dan penyakit, dan 5) alam (Dephut 1985).
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, gangguan kawasan yang
kebanyakan terjadi pada kawasan taman nasional adalah gangguan yang diakibatkan
oleh perbuatan manusia seperti : illegal logging, perambahan, perburuan liar,
penambangan tanpa ijin. Gangguan kawasan tersebut dapat mengancam keutuhan dan
kelestarian kawasan taman nasional. Gangguan terhadap keutuhan suatu kawasan
konservasi pada dasarnya akan mengikuti teori pengaruh tepi (edge effect
theory).
Perubahan fungsi hutan di areal kawasan konservasi di
Indonesia terjadi melalui berbagai macam bentuk, misalnya pembangunan jalan,
peminjaman atau pelepasan kawasan. Pembangunan jalan yang membelah Taman
Nasional Kutai adalah salah satu contoh yang sangat nyata. Perubahan fungsi
kawasan hutan menjadi areal dengan fungsi non-kehutanan di dalam kawasan
konservasi memiliki dampak yang nyata bagi struktur vegetasi dan komposisi
tumbuhan yang ada. Hilangnya jenis-jenis pohon yang berakibat pada perubahan
struktur vegetasi dan komposisi tumbuhan merupakan salah satu dampak tersebut.
Perubahan struktur dan komposisi tumbuhan ini pada akhirnya akan membentuk
habitat tepi (habitat edge) atau yang dulu lebih dikenal dengan istilah
ekoton. Kondisi lingkungan di habitat tepi memiliki karakteristik yang berbeda
dengan kondisi lingkungan di dalam hutan. Kondisi yang berbeda ini akan
memiliki dampak ekologis terhadap tumbuhan, hewan maupun organisme lain. Dampak
dari bertemunya dua kondisi lingkungan yang berbeda tersebut terhadap tumbuhan
dan hewan dapat di sebut efek tepi (edge effect).
Berdasarkan teori
pengaruh tepi menyatakan bahwa setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap
akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu. Selain
dirusak dalam arti yang sebenarnya, habitat-habitat yang semula luas tidak
terpecah-pecah kini terbelah-belah menjadi beberapa bagian oleh jalan,
lapangan, kota, dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan oleh
manusia. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang
luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen.
Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terisolasi oleh bentang alam yang
terdegradasi atau telah diubah. Seringkali pada bentang alam tersebut daerah
tepinya mengalami serangkaian perubahan kondisi, yang dikenal dengan istilah
efek tepi.
Efek tepi adalah perbedaan dalam faktor biotik atau
abiotik yang terjadi di perbatasan dari suatu fragmen habitat relatif terhadap
daerah interior habitat tersebut. Efek tepi dapat terlihat dari perubahan
gradual mikroklimat serta pola vegetasi dari tepi hingga ke interior hutan.
Efek tepi dapat mempengaruhi struktur, fungsi dan komposisi hutan, dan bahkan
mengarah pada degradasi fragmen hutan (Harper dkk., 2005).
Hasil-hasil temuan dari penelitian efek tepi di atas
sesungguhnya memiliki implikasi bagi konservasi. Sikap kehati-hatian dalam
mengambil kebijakan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan hutan
harus berdasar pada kajian para peneliti biologi konservasi sehingga pengaruh
efek tepi dapat diminimalisir. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan terkait
prinsip di atas, antara lain:
1. Fragmen hutan yang berukuran kecil
memiliki pengaruh efek tepi negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
fragmen hutan yang berukuran besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif antara luas fragmen hutan dengan keanekaragaman dan
kemelimpahan jenis tumbuhan dan hewan. Seberapa kecil fragmen hutan yang dapat
menunjang keanekaragaman hayati tergantung jenis tumbuhan atau hewan yang
sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan di suatu wilayah.
2. Bentuk fragmen hutan yang tersisa
mempengaruhi intensitas dari pengaruh efek tepi terhadap tumbuhan dan satwa.
Peneliti dari Australia, Williams dan Pearson, membuktikan adanya pengaruh
bentuk fragmen hutan terhadap vertebrata (hewan bertulang belakang) endemik di
bioregion Wet Tropics, Australia. Pengaruh bentuk ini terjadi jika fragmen
hutan memiliki bentuk yang tidak beraturan dan daerah yang tidak terkena efek
tepi berukuran kecil.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan
hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu intern dan ekstern. Faktor-faktor
intern yaitu : keadaan hutan, aparatur, sarana dan prasarana serta dana,
sedangkan faktor ekstern berupa pengaruh pembangunan, keadaan sosial, ekonomi,
sosial budaya, kesadaran masyarakat serta faktor politis (Dephut 1985).
Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan
juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan
nilai-nilai sosial budaya. Merancang kawasan konservasi hendaknya
mempertimbangkan beberapa faktor penting yaitu ;
a)
Ukuran, semakin
luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga
jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak.
b)
Bentuk; bentuk
kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi (edge
to area). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena
akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya
lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi.
c)
Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem harus
dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada
berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara
kelengkapan gradien dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai
contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis
nomadik.
d)
Tata guna lahan
yang berbatasan dengan kawasan konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu
zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan
yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga
(misal kawasan-kawasan yang dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air -
HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak
di dalam kawasan konservasi.
e)
Koridor: Apabila
mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan
koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya 200-400 m
(Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Hal ini akan memfasilitasi pergerakan
dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies et
al., 2001; Fimbel, Bennett & Kremen, 2001). Dalam banyak kasus,
kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang
sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan
kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridor-koridor tambahan harus
ditetapkan.
f)
Perwakilan
ekosistem: Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam
zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang.
Sumber
acuan :
Fardila, D. 2011. Efek Tepi Koridor Jalan Di Hutan Bukit Pohen, Cagar
Alam Batukahu, Bali. Berk. Penel.
Hayati: 17 (9–13).
Jakarta.
Kuncoro, P. 2004. Aktivitas Harian Orangutan
Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) Rehabilitan Di Hutan Lindung
Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. Skripsi. Universitas Udayana. Bali.
2 komentar:
If you're trying hard to burn fat then you have to start following this totally brand new personalized keto plan.
To design this keto diet, licenced nutritionists, personal trainers, and cooks have joined together to develop keto meal plans that are effective, convenient, economically-efficient, and delightful.
Since their first launch in 2019, 100's of individuals have already transformed their body and well-being with the benefits a professional keto plan can provide.
Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-certified ones given by the keto plan.
Paragraf tentang perubahan fungsi hutan itu hanya diubah sedikit dari tulisan yang dimuat di Wana Tropika Volume 4 No. 1/September 2010 (Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan). Kok tidak dicantumkan sumbernya?
Posting Komentar