Sumberdaya perikanan umumnya dalam kondisi sebagai milik
bersama (common property), dimana
pemanfaatan dapat digunakan secara terbuka dalam waktu yang bersamaan oleh
beberapa pelaku perikanan (open access).
Hal inilah yang memudahkan keluar masuknya pelaku usaha pemanfaatan sumberdaya
ikan. Pada jenis usaha yang memberikan tingkat keuntungan yang relatif lebih
baik, maka tekanan pemanfaatan akan semakin kuat. Pemanfaatan sumberdaya ini
bila tidak diatur dengan baik, maka akan cenderung ke arah pemanfaatan yang berlebih
dan akan menimbulkan dampak yang dapat mengancam kelangsung usaha itu sendiri. Oleh
sebab itu perlu adanya pengelolaan yang seksama agar produktivitas optimum
dapat terjaga.
Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting
dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta
rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia perlu dikelola yang berorientasi pada
jangka panjang (sustainability management).
Tindakan manajemen perikanan tangkap adalah mekanisme untuk mengatur, mengendalikan
dan mempertahankan kondisi sumber daya ikan pada tingkat tertentu yang diinginkan.
Salah satu kunci manajemen ini adalah status dan tren aspek sosial ekonomi dan
aspek sumber daya. Data dan informasi status dan tren tersebut dapat
dikumpulkan baik secara rutin (statistik) maupun tidak rutin (riset).
Tuna merupakan
komoditas ekspor penting setelah. Daerah-daerah penagkapan tuna yang penting di
Indonesia terutama di perairan kawasan timur Indonesia seperti wilayah
pengelolaan perikanan Selat Makassar dan Laut Flores, wilayah pengelolaan
perikanan Sulawesi Utara dan Samudera Pasifik, sedang di perairan kawasan barat
Indonesia terutama di wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia.
Di lautan Pasifik tuna
terdapat mulai dari utara Irian Jaya dan timur Australia hingga pantai Amerika.
Di lautan Atlantik meluas dari pantai Amerika hingga benua Afrika. Di perairan
Nusantara tuna terdapat di laut dalam seperti Laut Bali, Laut Flores, Laut
Arafura, Laut Banda dan Laut Sawu serta di kedua lautan yang mengelilingi
kepulauan. Di perairan Indonesia tuna jenis madidihang dan tuna mata besar
didapatkan di perairan pada daerah antara 150 LU - 150
LS, dan melimpah pada daerah antara 0- 150 LS seperti daerah pantai
selatan Jawa dan barat Sumatera.
Penyebaran dan kelimpahan ikan tuna sangat dipengaruhi
oleh variasi parameter suhu dan kedalaman perairan. Informasi mengenai
penyebaran tuna berdasarkan suhu dan kedalaman perairan sangat penting untuk
menunjang keberhasilan operasi penangkapan tuna. Hubungan hasil tangkapan dengan
suhu dan kedalaman mata pancing rawai tuna menunjukkan korelasi yang sangat
kecil antara perubahan suhu dan pertambahan kedalaman dengan jumlah ikan yang
tertangkap. Menurut Unar (1957) dalam Sumadhiharga (2009), bila ikan
telah mencapai ukuran yang lebih besar maka akan berada pada lapisan air yang
lebih dalam. Faktor lingkungan perairan sekitarnya turut mempengaruhi
penyebaran tuna secara horizontal dan vertikal. Secara horisontal, daerah
penyebaran tuna di Indonesia meliputi perairan barat dan selatan Sumatera,
perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Flores, Laut Banda, Laut
Sulawesi dan perairan utara Papua. Secara vertikal, penyebaran tuna sangat
dipengaruhi oleh suhu dan kedalaman renang.
Tuna adalah jenis ikan pelagis besar yang
penyebarannya hampir meliputi seluruh perairan Indonesia. Pada umumnya ada
empat jenis tuna yang terpenting di Indonesia yaitu madidihang, tuna mata
besar, albakor dan tatihu/tuna sirip biru selatan. Dari keempat jenis tersebut
madidihang pada umumnya merupakan jenis yang dominan di daerah tropis termasuk
Indonesia.
Tuna memiliki kemampuan berenang yang cepat bahkan
untuk beberapa jenis tertentu mampu beruaya sangat jauh tidak hanya antar negara
melainkan juga antar benua. Ruaya dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu karena
ikan mencari perairan yang kaya makanan, mencari perairan tempat memijah dan karena
adanya pengaruh lingkungan seperti suhu perairan, salinitas, dan arus. Suhu air
laut bervariasi menurut lintang sehingga penyebaran organisme laut cenderung
mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografis.
Ikan Tuna Albakor (Thunnus alalunga)
Ikan ini termasuk ikan buas, karnivora dan predator.
Ikan yang kecil hidup bergerombol dan senang pada perairan yang bersuhu rendah.
Ikan jenis ini hidup di perairan lepas pantai. Badan memanjang seperti torpedo,
mata agak besar dan tergolong tuna besar. Tapisan insang 25 – 31 pada bujur
insang pertama. Sirip dada memanjang seperti pedang dapat mencapai jari-jari
lepas kedua dari sirip punggungnya. Lunas kuat pada batang ekor diapit oleh dua
lunas kecil pada ujungnya. Terdapat dua cuping diantara sirip perut.
Sisik-sisik kecil, halus. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 13 -14, dan
14 jari-jari lemah pada sirip punggung kedua, diikuti 7 – 8 jari-jari sirip
lepas. Warna bagian atas hitam kebiruan, mengkilat, dan putih perak pada bagian
bawah. Sirip punggung pertama sedikit keabuan dengan warna kuning yang
terpendam, pinggiran atas kegelapan. Sirip punggung kedua, dan sirip dubur
gelap kekuningan. Batas belakang sirip ekor keputihan. Ukuran dapat mencapai
panjang 137 cm, umumnya 40 cm – 100 cm.
Daerah penyebaran utama di Samudera Hindia, Samudera
Pasifik Tengah. Di Indonesia penangkapan albakor banyak dilakukan di Samudera
Hindia. Albakor ditemukan pada suhu 140 C - 230 C, dengan
suhu penangkapan pada kisaran 150 C - 210 C dan suhu
optimum 170 C - 190 C. Albakor dapat hidup pada perairan
dingin yang kandungan oksigennya rendah sekitar 2 mg/l.
Ikan Tuna Madidihang / Yellow Tuna
(Thunnus albacares)
Badan berbentuk cerutu, memangjang
dan ditutupi sisik cycloid yang
sangat kecil. Terdapat sebaris gigi pada kedua rahang. Mempunyai dua buah sirip
punggung yang terpisah oleh celah sempit. Terdapat Sembilan buah finlet di belakang sirip punggung kedua
dan juga di belakang sirip dubur. Sirip punggung kedua dan sirip dubur
berbentuk arit yang panjangnya seperlima dari panjang baku. Sirip dada cukup
panjang dan mencapai pangkal dari sirip punggung kedua. Mempunyai gelembung
renang, warna punggung hitam legam. Bagian samping berwarna keabu-abuan dengan
garis-garis putih melintang yang agak miring dikelilingi oleh titik-titik putih
yang sejajar dengan garis tersebut. Sirip punggung pertama dan sirip perut
berwarna keabu-abuan dengan campuran warna kuning. Ujung sirip punggung kedua,
sirip dubur serta finlet berwarna kuning terang. Panjang maksimal dapat lebih
dar 200 cm.
Madidihang (Thunnus albacares), merupakan
salah satu sumberdaya ikan unggulan di Sulawesi Tenggara dengan daerah
penangkapan di bagian selatan Kabupaten Buton. Sebagai jenis ikan pelagis
besar, madidihang melakukan ruaya untuk melengkapi daur hidupnya. Banyak faktor
yang mempengaruhi ruaya dan keberadaan tuna dalam suatu perairan, di antaranya
adalah suhu dan kesuburan perairan. Distribusi ikan pelagis seperti madidihang
dapat diprediksi melalui analisis suhu optimum yang diketahui dan perubahan-perubahan
suhu permukaan laut secara bulanan. Demikian pula suhu dan perubahan-perubahannya
sering merupakan indikator bagi kondisi dan perubahan-perubahan lingkungan yang
dapat mempengaruhi distribusi ikan secara langsung.
Madidihang hidup pada kedalaman kurang dari 200 m
dan mempunyai swimming layer antara 0
m – 100 m, di atas lapisan termoklin. Jenis tuna ini juga bisa didapatkan di
atas dan di bawah lapisan termoklin. Batas penyebaran di Samudera Hindia
mencapai 350 LS. Daerah penyebaran madidihang di perairan Indonesia
adalah di Laut Selatan Jawa, laut sebelah Barat daya Sumatera, Laut Timor, Laut
Sulawesi, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Arafuru. Madidihang dapat tertangkap
di Indonesia pada daerah antara 150 LU - 150 LS dan
melimpah pada 00 - 150 LS, terutama di pantai Selatan
Jawa dan Barat Sumatera.
Tuna Mata Besar / Big Eye Tuna (Thunnus obesus)
Badan memanjang, langsing seperti torpedo. Dua sirip
punggung, sirip punggung kedua diikuti 8 – 10 jari-jari sirip tambahan. Sirip dada
sedang untuk jenis ikan yang besar, dan sangat panjang untuk jenis ikan yang
masih kecil, 7 – 10 jari-jari sirip tambahan di belakang sirip dubur. Sisik-sisik
halus dan kecil, memiliki gelembung udara. Warna ikan hitam keabuan pada bagian
atas dan putih keperakan pada bagian bawah. Semacam ban pelangi berwarna biru
maya membujur sepanjang sisi badan. Sirip punggung pertama berwarna abu-abu
kekuningan. Sirip punggung kedua dan sirip dubur kekuningan. Sirip-sirip
tambahan kuning dengan pinggiran kehitaman. Ukuran panjang mencapai lebih dari
200 cm, umumnya 60 cm – 80 cm.
Hidup di daerah perairan lepas
pantai, laut dalam berkadar garam tinggi mulai dari lapisan permukaan sampai
kedalaman 250 m. sebaran ikan tuna mata besar dari Samudera Pasifik, perairan
di antara pulau-pulau Indonesia, Samudera Hindia. Di Indonesia ikan tuna mata
besar banyak ditangkap di perairan Selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Laut
Banda, dan Laut Maluku. Tuna mata besar hidup pada perairan bersuhu 110
C - 280 C, dengan kisaran suhu penangkapan optimum pada suhu 180
C - 220 C. Tuna mata besar berasosiasi dengan lapisan termoklin yang
permukaannya memiliki kadar fitoplankton maksimum.
Perkembangan Alat Tangkap Tuna di
Indonesia
Di Samudera Hindia ada 2 (dua) jenis perikanan tuna,
yaitu tuna industri dan artisanal. Eksploitasi tuna skala industry terutama
menggunakan alat tangkap tuna long line,
untuk menangkap ikan-ikan tuna besar pada kedalaman di atas dan di bawah
lapisan thermoklin (100 sampai dengan 300 meter). Untuk menangkap tuna besar,
selain dengan tuna long line
digunakan juga alat tangkap pancing ulur, yang beroperasi di sekitar rumpon
laut dalam. Di kawasan timur Indonesia alat ini berkembang di beberapa daerah
antara lain, Sulawesi Utara, Teluk Tomini, Laut Maluku, dan Selat Makassar.
Sejak mulai beroperasi perusahaan pukat cincin joint venture di Sulawesi Utara, berkembang alat tangkap pancing
ulur tipe Filipina yang disebut pumpboat.
Alat ini menggunakan jukung motor yang besar yang dapat beroperasi sampai
dengan 2 minggu atau lebih.
Jenis-jenis alat tangkap perikanan tuna artisanal di
Samudera Hindia adalah gill net, payang
tonda, dan pukat cincin. Di pelabuhan Ratu terutama payang dan gill
net. Gill net dalam operasi
digabung dengan rawai untuk menangkap cucut. Di perairan Nusa Tenggara Timur
(Laut Flores) yang dekat dengan Samudera Hindia berkembang juga pancing ulur
yang diasosiasikan dengan berkembang perikanan huhate yang menggunakan rumpon.
Di Samudera Hindia, alat tangkap pancing ulur mulai berkembang di perairan
Selatan Malang (Sendang Biru) sejak tahun 1990-an.
Fakta dan Permasalahan
Berdasarkan laporan FAO Year Book 2009 dalam
Mahyuddin (2012), saat ini Indonesia telah menjadi negara produsen perikanan
dunia disamping China, Peru, USA dan beberapa negara kelautan lainnya. Peranan
industri perikanan tangkap dalam struktur ekonomi terlacak melalui sumbangan
industri perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tercatat kontribusi
PDB perikanan terhadap PDB nasional tanpa minyak dan gas bumi (migas) tahun
2010 hanya 3,4 %, perkiraan tahun 2011 adalah 3,5 % dan 4,5 % target tahun
2012. Produksi perikanan tangkap tahun 2010 mencapai 5,38 juta ton, perkiraan
tahun 2011 mencapai 5,41 juta ton, dan 5,44 juta ton target tahun 2012.
Mulai tahun 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) fokus pada pengembangan industrialisasi perikanan di tanah air. Arah
kebijakan pembangunan Kelautan dan Perikanan dalam Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) tahun 2012 yang terkait industrialisasi perikanan ialah peningkatan
produksi perikanan dan daya saing serta pemasaran hasil perikanan. Industrialisasi
perikanan tangkap merupakan bagian tidak terpisahkan dari industrialisasi
kelautan dan perikanan. Industrialisasi perikanan tangkap tidak dipahami hanya
untuk mendukung pengembangan industri hilir (pengolahan) semata-mata, tetapi
merupakan upaya terintegrasi dari seluruh stakeholder untuk meningkatkan
produktivitas, nilai tambah dan daya saing dengan membangun dan mengembangkan
sistem produksi yang moderen dan terintegrasi di tingkat hulu untuk memasok
kebutuhan ikan domestik sekaligus memasok bahan baku produk olahan perikanan
untuk dipasarkan di pasar domestik dan internasional.
Di tingkat nasional, ditetapkan komoditas tuna
(termasuk tongkol dan cakalang) sebagai pilot project industrialisasi
perikanan tangkap, dengan alasan sebagai berikut: (1) Indonesia merupakan
negara produsen tuna; (2) Tuna merupakan komoditi utama penyumbang devisa
penting negara dan memiliki nilai ekspor signifikan; (3) Tuna merupakan
komoditi highly migratory species yang pengelolaannya dilakukan secara
bersama-sama dalam Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) sehingga
Indonesia harus memiliki posisi tawar tinggi; (4) Industrialisasi perikanan
tuna sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja, mendukung pasokan industri
domestik dan memperkuat pasar internasional.
Konvensi PBB tentang hukum Laut 1982 (United
Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS) banyak memberikan
arahan mengenai bagaimana sebaiknya lautan dikelola. Salah satu klausul dalam
upaya pemanfaatan sumberdaya hayati, negara pantai memiliki kewajiban hukum
untuk menjamin bahwa sumberdaya hayati di ZEE-nya dilindungi dari kegiatan
eksploitasi berlebih, akan tetapi tetap dapat dioptimalkan pemanfaatannya.
Dalam rangka menciptakan kelestarian sumberdaya ikan di zona ekonomi ekslusif,
maka setiap negara pantai perlu menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
(JTB) yang dihasilkan dari kajian ilmiah terbaik.
Sementara itu, meskipun laut lepas (high
seas) memiliki rezim kebebasan (freedom of the high seas) sebagai
perwujudan doktrin “mare liberium”, laut lepas-pun tidak luput dari
pengaturan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan. Adapun kebebasan di
laut lepas yang diakui secara universal adalah kebebasan berlayar (freedom
of navigation), kebebasan penerbangan (freedom of overflight),
kebebasan memasang kabel atau pipa bawah laut (freedom to lay submarine
cables and pipelines), kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain
(freedom to construct artificial island and other installations permitted
under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing),
dan kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific research).
Asas kebebasan di laut lepas tersebut
harus memperhatikan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama
dan ketentuan internasional yang berlaku di atasnya. Khusus untuk kegiatan
penangkapan ikan, diperkuat lagi hak dari suatu negara untuk mengirimkan armada
perikanan nasionalnya ke laut bebas (Pasal 116 UNCLOS 1982). Akan tetapi,
pelaksanaan kebebasan ini harus diiringi dengan ketentuan mengenai
langkah-langkah konservasi sumberdaya hayati di laut lepas. Langkah ini dapat
dilakukan secara unilateral maupun bekerjasama dengan negara lain. Dorongan
adanya kerjasama antara negara-negara yang memanfaatkan sumberdaya hayati di
laut lepas ditekankan di dalam pasal 118 UNCLOS 1982, yaitu negara-negara harus
mengatur pengelolaan dan konservasi tersebut, apabila memungkinkan dapat
membentuk “subregional or regional fisheries organization.
Meskipun pengelolaan perikanan sudah
diatur dalam UNCLOS 1982, masih saja terjadi konflik atau perbedaan pendapat
mengenai kegiatan penangkapan ikan di antara negara pantai (coastal state)
dengan negara-negara yang memiliki armada perikanan jarak jauh (distant
fishing fleets) yang disertai dengan terjadinya penurunan potensi
sumberdaya ikan. Untuk menyelesaikan masalah ini, maka dicarilah konsep-konsep
bagaimana menerapkan konservasi dan pengelolaan stok yang lestari sepanjang
jalur migrasi jenis ikan tersebut, tetapi tidak mengurangi ataupun melanggar
hak-hak berdaulat negara pantai.
Selain UNCLOS
1982, ada beberapa kesepakatan-kesepakatan khusus lainnya yang mengatur tentang
pengelolaan perikanan di laut lepas dan berkenaan dengan jenis ikan bermigrasi
jauh dan bermigrasi terbatas, yaitu:
1. Agreement
to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures
by Fishing Vessel on the High Seas (FAO Compliance Agreement 1993);
2. Agreement
for the Implementation of the provision of the UNCLOS of 19 December 1982 relating
to Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory
Fish Stock 1995 (UNIA 1995);
3. The
Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995); dan
4. International
Plan of Action (IPOA) dari FAO yang meliputi IPOA for Management of
Fishing Capacity, IPOA for Conservation and Management of Shark, IPOA
for Reducing Incidental Catch of Seabird in Long-Line Fisheries, dan IPOA
for Illegal, Unreported and Unregulated Fishing.
Selain itu, terkait dengan pengelolalaan perikanan
terdapat beberapa organisasi-organisasi sub-regional dan regional perikanan
yang terbentuk di wilayah laut lepas yang berdampingan dengan perairan
Indonesia, diantaranya adalah Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), Western
and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC), dan Commission for the
Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) (Satria et al., 2009).
Sebagai bagian dari anggota masyarakat internasional, Indonesia juga berupaya
mengikuti ketentuan hukum internasional yang berlaku, termasuk
peraturan-peraturan penangkapan ikan di laut lepas, seperti kelayakan
kapal-kapal penangkapan dan ketaatan kapal-kapal tersebut pada ketentuan
pengelolaan dan konservasi yang ada akan tetapi terdapat hal yang menjadi
kendala, yaitu Indonesia baru meratifikasi UNCLOS 1982 dan sedang
mempertimbangkan untuk ikut serta dalam beberapa hukum internasional lain, khususnya
UNIA 1995.
Pengelolaan jenis ikan, baik yang bermigrasi jauh
maupun bermigrasi terbatas dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary
approach). Pelaksanaan pendekatan kehati hatian merupakan bentuk
perlindungan sumberdaya hayati laut dan konservasi lingkungan lautnya.
Persyaratan pelaksanaan pendekatan kehati-hatian yang dituangkan pada UN Fish
Stock Agreement 1995 merupakan alternatif lain dari ketentuan UNCLOS 1982,
yang mensyaratkan “best scientific evidence available” dalam pengelolaan
dan konservasi sumberdaya ikan.
UN Fish Stock Agreemet 1995 juga mengamanatkan akan pentingnya kerjasama
dalam pengelolaan ikan yang bermigrasi jauh dan bermigrasi terbatas.
Berdasarkan pasal 8, kerjasama antara negara-negara pantai dan negara-negara
yang melakukan penangkapan di laut lepas bisa dilakukan secara langsung atau
melalui organisasi pengelolaan perikanan sub regional atau regional, dengan
mempertimbangkan karakter khusus dari subregion atau region tersebut untuk
memastikan pengelolaan dan konservasi stok ikan secara efektif.
Konklusi
Perkembangan Penangkapan Tuna
Dalam
perkembangannya eksploitasi ikan Tuna di dunia Internasional semakin
menunjukkan peningkatan yang signifikan berdasarkan jumlah tangkapan. Seiring
berjalannya waktu permintaan komoditas tuna semakin meningkat yang disebabkan
oleh semakin banyak yang menggemari kuliner khas Jepang yaitu Sushi yang mulai popular
di benua Asia dan Eropa. Dengan adanya permintaan yang tinggi maka produksi
dalam penangkapan ditingkatkan dengan menggunakan alat tangkap yang lebih
efektif, salah satu caranya adalah mengecilkan ukuran mata jaring sehingga
lebih banyak ikan yang bisa ditangkap.
Dengan banyaknya permasalahan penangkapan yang sudah
terindikasi over fishing maka dibuat beberapa kesepakatan Internasional yang
melahirkan aturan-aturan pembatas dalam penangkapan laut lepas yang tertuang
dalam UNCLOS 1982. Setiap aturan yang dimuat memberikan arahan dalam
pengelolaan penangkapan Tuna di laut lepas dengan membatasi kegiatan
penangkapan yang diiringi dengan kegiatan konservasi biota tangkapan agar
terjamin jumlah ikan sasaran penangkapan di laut lepas.
Secara garis besar, aturan yang dibuat memiliki nilai
positif dalam menjamin keberlanjutan sumberdaya yang dieksploitasi. Tetapi, di
sisi lain untuk negara berkembang seperti Indonesia belum dapat secara penuh
mengikuti aturan yang berlaku karena masih terkendala dengan sumberdaya manusia
dan teknologi yang masih minim. Untuk itu dalam beberapa hal seperti pembagian
persentase jumlah tangkapan yang diperbolehkan harusnya Indonesia memiliki
nilai tawar yang tinggi karena Indonesia merupakan produsen tuna terbesar di
dunia. Banyak hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk menaikkan nilai tawar
secara diplomatis dengan melakukan konservasi terhadap lingkungan perairan
jalur migrasi Tuna dan meningkatkan teknologi kapal penangkapan Tuna di laut
lepas.
Referensi
1.
Habibi, dkk.
2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan Dan Penanganan. Seri Panduan Perikanan
Skala Kecil ISBN 978-979-1461-10-8. WWF-Indonesia. Indonesia.
2.
Alimah, K. 2006.
Sebaran Daerah Penangkapan Ikan Tuna Dengan Alat Tangkap longline di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Hasil Tangkapan PT.
Perikanan Samodra Besar Cabang Benoa-Bali. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
3.
Mertha, I. G. S.,
M. Nurhada dan A. Nasrullah. 2006. Perkembangan Perikanan Tuna di Pelabuhan
Ratu. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 12 No.2, hal: 117-127.
4.
Sui, L., dan S. Bustaman.
1994. Penyebaran, Komposisi Ukuran, Musim, Produksi dan Alat Tangkap Ikan Momar
Putih/Layang (Decapterus macrosoma)
Di Perairan Maluku Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 93, hal: 1-8.
5.
Anonymous, 2010.
Suhu Permukaan Laut dan Hubungannya Dengan Hasil Tangkapan Madidihang (Thunnus albacores) Di Perairan Selatan
Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo.
6.
Jusuf, G. D. H.
1983. Suatu Studi Perjanjian Indonesia-Jepang Tentang Penangkapan Ikan Tuna Di
LAut Banda. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan-IPB. Bogor.
7.
Barata, A., D.
Novianti, dan A. Bahtiar. 2011. Sebaran Ikan Tuna Berdasarkan Suhu Dan
Kedalaman Di Samudera Hindia. Ilmu Perikanan Vol. 16 No.3, hal: 165-170.
8.
Cahyadi, R. 2004.
Analisis Hasil Tangkapan Ikan Tuna Dan Pola Distribusi Tinggi Paras Laut Di
Perairan Selatan Jawa-Sumbawa Pada Tahun 1999. Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
9.
Da’i, K., dkk.
2012. Daerah Penangkapan Tuna hand liners
Yang Mendaratkan Tangkapannya Di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap Vol. 1 No. 2, hal: 33-37.
10. Mardia. 2012. Manfaat Keanggotaan Indonesia Dalam
Indian Ocean Tuna Comission (IOTC). Skripsi. FPIK-IPB. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar