Keragaman hayati (biodiversity
atau biological diversity) merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kekayaan berbagai bentuk kehidupan di bumi ini mulai dari
organisme bersel tunggal sampai organisme tingkat tinggi. Keragaman hayati
mencakup keragaman habitat, keragaman spesies (jenis) dan keragaman genetik
(variasi sifat dalam spesies).
Menurut Dahuri (2003), diakui
bahwa sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar, Indonesia memiliki tingkat
keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, baik keanekaragaman genetik,
spesies, dan ekosistem. Sebagai contoh, Indonesia memiliki lebih dari 37% dari
seluruh spesies ikan yang telah teridentifikasi di dunia. Tingginya
keanekaragaman hayati pesisir dan laut yang bersifat renewable tersebut
mestinya merupakan aset penting dalam menunjang pembangunan ekonomi
Indonesia. Hal ini karena keanekaragaman
hayati laut memiliki fungsi memberikan manfaat bagi lingkungan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia, baik yang bersifat langsung (pangan, sandang,
obat-obatan, pupuk) maupun tak langsung (penahan ombak, daerah pemijahan,
siklus nutrien). Secara ekonomi nilai potensinya sekitar US$ 75 milyar.
Sehingga, keanekaragaman hayati tersebut mesti dikelola secara arif agar dapat
menjadi pilar kemakmuran bangsa.
Sebagai negara kepulauan
dengan tingkat keanekeragaman hayati pesisir dan laut yang tinggi, pelestarian
keanekaragaman hayati merupakan hal yang mendasar serta mendesak untuk
dilaksanakan. Laju kerusakan keanekaragaman hayati pesisir dan laut serta
kepunahan beberapa spesies langka seakan berpacu dengan waktu. Dominansi laju
tersebut terkadang bahkan seakan menenggelamkan upaya penyelamatan dan
pelestarian keanekaragaman hayati laut dan pesisir di Indonesia. Sebagai
negara yang ikut berkomitmen dalam the 2005 World Review Summit.untuk
mengurangi laju kepunahan keanekaragaman hayati secara substansial pada tahun
2010, Indonesia dituntut untuk mengejewantahkannya dalam penurunan laju
kerusakan, khususnya untuk keanekaragaman hayati pesisir dan laut yang terus
menerus menerima dampak kerusakan baik yang bersumber dari dalam ekosistem itu
sendiri maupun dari ekosistem lainnya.
Selain itu juga dalam
memformulasi agenda pengelolaan keanekaragaman hayati tersebut harus terlebih
dahulu secara detail dan lengkap memberikan definisi, memotret kekayaan,
mengidentifikasi manfaat dan nilai ekonomi, serta menganalisis faktor penyebab
kerusakan dan kendala pelaksanaan pengelolaan keanekaragaman hayati laut.
Keanekargaman hayati Indonesia
adalah sumber daya yang penting bagi pembangunan nasional. Sifatnya yang mampu
memperbaiki diri merupakan keunggulan utama untuk dapat di manfaatkan secara
berkelanjutan. Sejumlah besar sektor perekonomian nasional tergantung secara
langsung ataupun tak langsung dengan keanekaragaman flora-fauna, ekosistem
alami dan fungsi-fungsi lingkungan yang dihasilkannya. Konservasi
keanekaragaman hayati, dengan demikian sangat penting dan menentukan bagi
keberlanjutan sektor-sekrtor seperti kehutunan, pertanian, dan perikanan,
kesehatan, ilmu pengetahuan, industri dan kepariwisataan, serta sektor-sektor
lain yang terkait dengan sektor tersebut.
Keanekaragaman
hayati pesisir dan laut adalah seluruh keanekaan bentuk kehidupan di pesisir
dan laut, beserta interaksi di antara bentuk kehidupan tersebut dan antara
bentuk kehidupan tersebut dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati pesisir
dan laut merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan di pesisir dan laut:
tanaman yang berbeda-beda, hewan dan mikroorganisme, gen-gen yang terkandung di
dalamnya, dan ekosistem yang mereka bentuk. Kekayaan hidup ini adalah
hasil dari sejarah ratusan juta tahun berevolusi yang jika hilang akan susah
untuk pulih bahkan bisa hilang untuk selamanya.
Manfaat keanekaragaman hayati
mencangkup antara lain: jasa lingkungan, nilai ekonomi dan kegunaan yang
diberikan oleh keanekaragaman hayati pesisir dan laut telah menopang lebih dari
60 persen penduduk Indonesia yang bermukim di wilayah pesisir baik secara
langsung maupun tidak langsung. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut telah
menjadi sumber penghidupan dan pekerjaan bagi jutaan penduduk Indonesia. Banyak
studi yang telah dilakukan yang mengkonfirmasi hal ini. Beberapa hasil kajian
yang memperkirakan manfaat keanekaragaman dan ekosistem pesisir dan laut adalah
sebagai berikut:
- Nilai kegunaan dan non kegunaan hutan mangrove di Indonesia US$ 2,3 miliar per tahun (GEF/UNDP/IMO 1999)
- Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia diperkirakan sekitar US$ 567 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
- Nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun (Bapedal dan PKSPL-IPB 1999)
- Nilai ekologi dan ekonomi sumberdaya rumput laut di Indonesia sekitar US$ 16 juta (GEF/UNDP/IMO 1999)
- Nilai manfaat ekonomi potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia sebesar US$ 15,1 miliar (Dahuri 2002)
Keanekaragaman
hayati dan ekosistem pesisir dan laut di samping memberikan manfaaat dari
sumberdaya dan jasa lingkungannya terhadap penghidupan masyarakat pesisir, juga
berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim serta penyerapan karbon yang
merupakan kontributor perubahan iklim. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
beserta ekosistemnya berperan dalam menjaga keseimbangan penyerapan karbon.
Kemampuan penyeimbang ini mulai terganggu dengan semakin banyaknya gas rumah
kaca (GRK) hasil kegiatan manusia (anthropogenic) yang pada akhirnya
diserap oleh laut dan ekosistemnya. Tanpa ada upaya pengurangan emisi GRK,
dipastikan dalam beberapa dekade mendatang ekosistem pesisir dan laut berkurang
secara signifikan. Hal ini berarti akan memberikan dampak ikutan terhadap
masyarakat pesisir serta biota dan ekosistem laut dan pesisir lainnya.
Berpijak pada
kemampuan ekosistem laut dan pesisir menjaga keseimbangan penyerapan karbon
serta potensi pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), Program Lingkungan
Perserikatan Bangsa-bangsa (UNEP) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (FAO)
dan Badan Pendidikan dan Pengetahuan (UNESCO) memperkenalkan konsep Karbon Biru
(Blue Carbon) dalam Laporan Blue Carbon – The Role of Healthy
Oceans in Binding Carbon. Laporan ini telah diluncurkan pada 14 Oktober
2009 pada Diversitas Conference, Cape Town Conference Centre,
South Africa. Laporan ini menggambarkan alur emisi karbon dan estimasi
kemampuan ekosistem laut dan pesisir dalam menyerap karbon dan gas rumah kaca.
Hal ini juga sejalan dengan amanat Manado Ocean Declaration (MOD) yang
dideklarasikan tahun 2009 serta sebagai upaya mengendalikan dampak perubahan
iklim.
Karbon Biru (Blue
Carbon) adalah sebuah konsep yang membuktikan peran keanekaragaman hayati
pesisir dan laut beserta ekosistemnya yang didominasi oleh vegetasi laut
seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau serta rawa masin (salt
marshes) dalam mendeposisi karbon. Keanekaragaman hayati pesisir dan laut
beserta ekosistemnya diyakini mampu menjadi garda penyeimbang bersama hutan (Green
Carbon) untuk mengurangi laju emisi melalui penyerapan karbon.
Kajian awal yang
dilakukan para peneliti di Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan mengidentifikasikan potensi laut Indonesia yang memiliki
kemampuan menyerap karbon sebesar 0.3 giga ton karbon per tahun. Riset ini
dilakukan dengan memanfaatkan data satelit kandungan fitoplankton (klorofil dan
suhu air laut) di laut Indonesia untuk mengestimasi kandungan karbon yang
terserap. Riset ini tentunya masih harus diverifikasi melalui kajian lapangan (in-situ)
serta memperhitungkan komponen lainnya seperti interaksi atmosfir dan laut (solubility
pump). Langkah ini hendaknya menjadi pemicu dan pemacu untuk melakukan
riset lanjutan tentang peran penting laut sebagai pengendali perubahan iklim.
Satu hal yang harus diacu adalah Indonesia dengan kenanekaragaman hayati dan
luasan ekosistem pesisir dan laut yang begitu besar, berpotensi memberikan
kontribusi dalam menjaga dinamisator laut dalam perubahan iklim. Menjaga
kelestarian keanekaragaman hayati pesisir dan laut beserta ekosistemnya berarti
menjaga kelestarian dan kemampuan ekosistem laut dan pesisir sebagai
dinamisator iklim global.
Sumber
Bacaan:
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut:
Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar