Kamis, 06 Juni 2013

Perbedaan Manajemen Sumberdaya Perairan dan MAnajemen Sumberdaya Perikanan



Manajemen Sumberdaya Perairan
Sumberdaya perairan merupakan segala potensi yang ada dalam lingkungan perairan baik perairan umum maupun perairan laut. Pengelolaan sumberdaya perairan adalah upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan perairan secara optimal sesuai dengan daya dukung lingkungan perairan secara berkelanjutan dalam rangka mempertahankan kelestarian sumberdaya perairan.
Undang-Undang RI No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air).
Berdasarkan pengertian dari definisi tersebut maka DAS merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia dan aktivitasnya yang berada pada, di bawah, dan di atas tanah. Sekalipun definisi atau pengertian DAS sama pada beberapa Peraturan Perundangan yang berbeda (Kehutanan dan Sumberdaya Air), namun implementasi dan pengejawantahannya dalam Pengelolaan DAS belum sama; sekaligus ini menjadi masalah pertama yang harus dituntaskan agar platform dan mainframe setiap kementerian, instansi, dan lembaga lainnya menjadi sama. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologi.

Manajemen Sumberdaya Perikanan
Kebijakan pengembangan kawasan pesisir yang telah dilaksanakan sejak pemerintah orde baru juga terindikasi masih bersifat parsial dan direncanakan dari atas {top down). Hal ini dapat terlihat dari berbagai program pembangunan pesisir yang hanya mementingkan beberapa aspek saja dan belum terpadu, sehingga seringkaii kurang atau bahkan tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat lokal. Boleh dikatakan bahwa strategi pembangunan pesisir selama ini masih belum berdasarkan sistem pembangunan partisipatif dan kurang mendayagunakan potensi masyarakat secara terpadu, dengan demikian kebijakan tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakat yang membutuhkannya sehingga sebagian besar masyarakat nelayan masih hidup dalam keadaan miskin.
Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam bentuk pengelolaan dengan pemeliharaan ikan untuk mendapatkan hasil yang optimum dan dalam menjaga kesinambungan sumberdaya (sustainability). Hal ini dimaksudkan agar tidak hanya generasi sekarang yang dapat menikmati kekayaan sumberdaya, tetapi juga generasi mendatang.
Sumberdaya perikanan sering dikemukakan sebagai wadah bersama (common pool resources) yaitu sumberdaya yang berada pada suatu wadah atau ekosistem dimana penangkapan ikan dilakukan secara bersama-sama. Sebagai suatu wadah bersama, sumberdaya perikanan memiliki sifat-sifat interkoneksitas, indivisibilitas dan substraktibilitas. Sifat interkoneksitas artinya bahwa sumberdaya perikanan memiliki saling keterkaitan antara suatu komponen, seperti antara jenis ikan serta antara ikan dengan lingkungannya. Sifat indivisibilitas artinya bahwa sumberdaya perikanan tidak mudah dibagi-dibagi menjadi bagian atau milik wilayah perairan tertentu. Sifat ini muncul karena ikan melakukan migrasi antar wilayah dan tidak bisa dibatasi pergerakannya dalam suatu ekosistem alam. Sifat substraktibilitas artinya bahwa sumberdaya ikan bila diambil oleh orang tertentu pada waktu tertentu akan mempengaruhi keberadaan dan ketersediaan ikan bagi orang lain di waktu yang lain.
Pengelolaan perikanan di wilayah perairan Indonesia tidak terlepas dari peraturan-peraturan yang berlaku baik berbentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan keputusan menteri, dan juga peraturan-peraturan yang bersifat internasional. UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Pasal 1 menyatakan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi dan kelestarian yang berkelanjutan. Tujuan pengelolaan perikanan tercantum pada Pasal 3, yaitu (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara, (3) mendorong perluasan dan kesempatan kerja, (4) meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan, (5) mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan, (6) meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, (7) meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan, (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal, serta (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan dan tata ruang.
Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu (1) res communes atau properti bersama, atau ada yang memiliki, dan (2) res nullius atau tanpa pemilik. Rezim sumberdaya yang dimiliki bersama (res communes) dapat dibagi menjadi : (1) dimiliki oleh semua orang sehingga pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut terbuka bagi setiap orang, (2) dimiliki oleh atau property masyarakat tertentu yang jelas batas-batasnya dan karena itu sumberdaya hanya terbuka bagi masyarakat itu dan tertutup bagi masyarakat lain, (3) properti pemerintah yang berarti bahwa hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut ada di tangan pemerintah yang dapat saja dialihkan kepada masyarakat, dan (4) properti swasta dimana swasta selaku perusahaan atau individu memiliki hak pemanfaatan dan pengelolaan. Rezim sumberdaya perikanan tanpa pemilik (res nullius) artinya bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun. Rezim ini bisa berupa de-facto atau de-jure tanpa pemilik. De-facto tanpa pemilik artinya rezim tersebut secara de-jure memang dimiliki namun aturan-aturan yang mendasarinya tidak efektif sehingga akhirnya sumberdaya tersebut dalam kenyataannya seperti tanpa pemilik. De-jure artinya kondisi dimana ada sistem yang mendeklarasikan bahwa sumberdaya tersebut memng tidak dimiliki oleh siapapun.
Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan rencana yang baik yang harus disetujui dan didukung oleh segenap dari mereka yang terlibat dan yang berkepentingan, yakni para stakeholders (pemangku kepentingan). Dengan melibatkan seluruh stakeholders maka kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap pemanfaatan dan pengelolaan jangka panjang atas sumberdaya ikan dan ekosistemnya dapat ditingkatkan.
Dalam kasus perikanan, Ruddle (1999) diacu dalam Satria (2009) mengidentifikasi unsur-unsur tata pengelolaan sebagai berikut:
a.       Batas wilayah: ada kejelasan batas wilayah yang kriterianya adalah mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat.
b.       Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang. Dalam dunia perikanan, aturan tersebut biasanya mencakup kapan, dimana, bagaimana, dan siapa yang boleh menangkap.
c.       Hak: pengertian hak bisa mengacu kepada seperangkat hak kepemilikan.
d.      Pemegang Otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan disesuaikan dengan kondisi.
e.       Sanksi: untuk menegakkan aturan diperlukan sanksi sehingga berlakunya sanksi merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Ada beberapa tipe sanksi: sanksi sosial (seperti dipermalukan atau dikucilkan masyarakat), sanksi ekonomi (denda, penyitaan barang), sanksi moral (melalui mekanisme pengadilan formal) dan sanksi fisik (pemukulan).
f.        Pemantauan dan evaluasi oleh masyarakat secara sukarela dan bergilir yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan.



Sumber bacaan:
1. Amrizal dan Zulkarnain. 2008. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Indragiri Hilir (Studi Kasus Kawasan Panglima Raja Kecamatan Concong). 
Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2008. Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia Amanah Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2008 Tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009.