Minggu, 29 Juli 2012

Sekilas Psikologi : "Perceraian"



PENDAHULUAN
            Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Indonesia menduduki peringkat keempat tingkat perceraian tertinggi didunia. Dari dua juta pasangan yang melangsungkan pernikahan, 10% diantaranya berakhir dengan perpisahan. Pada awal 2000-an, 30% perceraian terjadi karena suami menceraikan istri). Pada 2005, 68,5%  perceraian terjadi kaena istri menggunggat cerai suami. (Republika, 25 Juni 2011, dari Dirjen Binmas Islam, Kemenag RI)
            Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi ditengah masyarakat membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Peningkatan dalam kasus gugatan cerai yang diajukan istri kepada suami juga dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi kaum wanita yang terus meningkat. Saat ini, begitu mudah bagi pasangan suami istri untuk melakukan perceraian sebagai solusi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka.
Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang sangat fantastis. Tercatat, pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik.
Sedangkan di wilayah Jawa Timur, peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, angka perceraian berjumlah 40.391 pasangan bercerai. Tahun 2004 meningkat menjadi 42.769 dan tahun 2005 mencapai 55.509 kasus perceraian.
Faktor penyebab perceraian antara lain:
·         Ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
·         Krisis moral dan akhlak.
·         Perzinahan.
·         Pernikahan tanpa cinta.
·         Adanya masalah-masalah yang terjadi dalam perkawinan.
Perceraian ini sendiri dapat menimbulkan masalah dalam lingkungan sosial karena pasangan yang bercerai dianggap telah melanggar norma sosial yang ada di masyarakat, pengaruhnya terhadapa anak dan trauma pasca perceraian yang sangat mungkin terjadi, terutama bagi perempuan.
BAB II
TEORI
PROBABILITY OF DIVORCE: SOCIAL AND DEMOGRAFIC FACTORS
Dindikasikan bahwa penyebab dari perceraian itu termasuk didalamnya independensi wanita; faktor ekonomi; pernikahan dini; konflik peran; dan banyak lagi penyebab lainnya. Disini kita akan fokus pada korelasi antara faktor sosial dan demografis pada perceraian.
Marital Age
Usia pernikahan pertama merupakan salah satu prediktor dari pernikahan yang sukses: seseorang yang menikah ketika sangat muda lebih cenderung untuk bercerai daripada mereka yang menunggu sampai mereka lebih tua. Faktanya, T. C. Martin dan Bumpass menyimpulkan bahwa usia pernikahan pertama adalah prediktor terkuat pada lima tahun pertama pernikahan dan bahwa efek negatif dari pernikahan dini terakhir jauh ke dalam pernikahan. Rujukan untuk tinggal terpisah, serta masalah dengan penggunaan alkohol dan narkoba, lebih sering dikutip sebagai alasan untuk perceraian bagi mereka yang menikah sangat dini.
Religion
Frekuensi kehadiran di tempat-tempat pelayanan ibadah berkorelasi secara kuat dan negatif dengan perceraian. Yang berarti bahwa seseorang yang secara teratur mengunjungi tempat ibadah lebih kecil kemungkinan untuk bercerai. Pengajaran agama bisa menjadi faktor yang sangat kuat dalam memotivasi pasangan untuk mencoba membuat pernikahan mereka sukses. Wineberg (1994) menemukan bahwa yang mempunyai keyakinan agama yang kuat lebih mungkin untuk mendamaikan kesulitan yang muncul dan agamalah yang sangat berkorelasi dengan keberhasilan rekonsiliasi.
Sosioeconomic Status
Status sosioekonomi ini termasuk didalamnya pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Studi menunjukkan bahwa tingkat perceraian lebih tinggi dalam level status sosioekonomi yang rendah. Pada umumnya, pasangan menghadapi masalah keuangan yang lebih besar dan mereka lebih sedikit menghabiskan waktu bersama-sama memiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi.
Individu yang status sosioekonominya rendah bukan hanya lebih mungkin dibandingkan individu yang status sosioekonominya tinggi untuk mengakhiri pernikahan mereka dengan perceraian, tetapi mereka juga cenderung untuk bercerai untuk alasan yang berbeda. Sebagaimana tingkat pendidikan dan pendapatan meningkat, alasan yang dikutip untuk bercerai lebih mungkin termasuk didalamnya penyebab yang berpusat pada hubungan, seperti masalah ketidakcocokan dan kepribadian, dan kurang cenderung untuk memasukkan alasan seperti perilaku bermasalah atau penyalahgunaan.
Geographic Area
Angka perceraian cenderung lebih tinggi di kota-kota besar dan lebih rendah di kota-kota kecil atau daerah pedesaan, bahkan ketika disesuaikan untuk variabel-variabel lain seperti perbedaan etnis, agama, dan sosial ekonomi. Hal ini dijelaskan sebagian oleh tingkat mobilitas perumahan yang lebih tinggi antara orang-orang di kota-kota besar dan daerah perkotaan daripada di antara orang-orang di kota-kota kecil dan daerah pedesaan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat, perubahan demografis, (tingkat kelahiran, tingkat kematian, proporsi lansia), dan tingkat ketenagakerjaan semua berkorelasi dengan angka perceraian.
Parental Divorce
Umumnya dipercayai bahwa orang yang orangtuanya bercerai lebih rentan terhadap perceraian mereka sendiri. Jika kedua pasangan mengalami perceraian orang tua, risiko perceraian meningkat. Risiko perceraian sangat tinggi jika terjadi perceraian orangtua ketika pasangan berusia 12 tahun atau lebih muda. Pasangan yang orangtuanya bercerai lebih cenderung memiliki masalah dengan amarah, kecemburuan, perasaan terluka, komunikasi, perselingkuhan, dan lainnya. Sebagai anak-anak, mereka mungkin telah ditunjukka model perilaku yang buruk dan tidak dapat mempelajari kemampuan dan sikap yang memfasilitasi keberfungsian yang sukses dalam peran pernikahan mereka. Oleh karena itu, mereka mungkin lebih cenderung untuk memilih bercerai atau memiliki lebih banyak hubungan intim yang negatif.



The Presence of Children
Resiko marital dissolution tertinggi berada pada pasangan yang tidak memiliki anak, mungkin karena mereka tidak memiliki alasan untuk tinggal bersama seperti jika memiliki anak. Terdapat perbedaan resiko marital dissolution tergantung pada umur dan banyaknya anak. Kemungkinan marital dissolution menurun karena jumlah anak meningkat sampai maksimum empat. Ketika pasangan memiliki lima atau lebih anak, maka kehidupan marital dissolution akan meningkat. Tingkat perceraian relatif rendah jika anak terkecil berada dibawah umur tiga tahun, namun meningkat tajam ketika anak tersebut mencapai pertengahan remaja, dan menurun banyak setelah ia mencapai umur 17 tahun. Dengan demikian, efek stabilitas anak mengenai pernikahan paling kuat ketika mereka sangat muda atau ketika mereka telah mencapai usia dewasa. Suatu penelitian menemukan bahwa, jika keluarga memiliki setidaknya satu anak (laki-laki), akan meningkatkan waktu ayah dengan anak-anak mereka. Jika ada keterlibatan pihak ayah yang lebih dalam kehidupan keluarga, baik melalui investasi waktu ayah yang lebih banyak dengan anak-anak atau melakukan pekerjaan rumah tangga, wanita memiliki persepsi yang lebih besar terhadap keadilan dalam hubungannya dan lebih puas dengan pernikahan.
CAUSES OF MARITAL BREAKUP
Faktor sosial dan demografis mengindikasikan kemungkinan perceraian, tetapi hal itu tidak memperlihatkan penyebab perceraian yang sebenarnya. Penyebabnya mungkin bisa dilihat dengan mengetahui persepsi mereka tentang alasan mereka untuk bercerai.
Spouses’ Perceptions
Penelitian pada perceraian dan kepuasan pernikahan mengindikasikan dua waktu kritis dalam pernikahan yang mengarah pada perceraian:
(1)   8 tahun pertama pernikahan, dimana setengahnya mengalami perceraian, dan
(2)   Pertengahan kehidupan, ketika mereka biasanya memiliki anak remaja.
Periode terakhir telah dideskripsikan oleh beberapa peneliti sebagai kemungkinan poin terendah dalam kepuasan pernikahan selama kehidupan. Gottman dan Levenson menemukan perbedaan set variable prediksi early divorce dan later divorce. Efek negative selama konflik (misalkan, kritikan, hinaan, defensif) memprediksi early divorce. Kurangnya efek positif dalam membahas kejadian hari itu (misalnya, karena gembira atau menunjukkan minat pada apa yang pasangan katakan) memprediksi later divorce.
Gigy dan Kelly menemukan bahwa alasan utama dalam perceraian (80% pada wanita dan pria dalam studi mereka) peningkatan frekuensi berpisah, kehilangan rasa kedekatan, dan kekurangan dalam merasakan cinta dan penghargaan. Intensitas dan kerasnya pertengkaran hanya 40% pada pasangan. Dolan dan Huffman menemukan bahwa, tanpa memperhatikan status sosioekonomi wanita, kurangnya dukungan emosional dan ketidakcocokan merupakan frekuensi utama terhadap perceraian. Gottman dan Levenson mengatakan, “mungkin mengubah sifat afektif dari cara pasangan mendiskusikan topik-topik biasa seperti kejadian hari mereka, di mana mereka baik membuat hubungan emosional pada reuni atau gagal untuk melakukannya, dapat mempengaruhi cara mereka menyelesaikan konflik, dan mungkin saja masa depan pernikahan.”
Hubungan sebelum pernikahan seperti bagaimana berkomunikasi dan menghadapi konflik, dapat menjadi indikator terbaik dalam stabilitas dan kebahagiaan pernikahan. Clements, Stanley, dan Markman menemukan bahwa pasangan yang tetap puas, menjadi tertekan, atau bercerai dapat diprediksi berdasarkan data pra-menikah.
Dalam studi yang lain, menyatakan bahwa pasangan yang penuh gairah dan memiliki sikap yang positif dalam menjalani hidup cenderung memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia. Tetapi pasangan yang memiliki sikap moody, emosi yang tidak stabil, dan memiliki sikap negatif cenderung memiliki kebahagiaan pernikahan yang rendah.
Amato dan Prefity menemukan bahwa ketidaksetiaan adalah penyebab terbesar perceraian. Akan tetapi, sulit untuk menentukan jika ketidaksetiaan adalah penyebab atau konsekuensi dari masalah pada pernikahan. Penyebab lain adalah jarak yang berjauhan, kepribadian, dan kurangnya komunikasi. Pasangan yang bercerai cenderung menyatakan bahwa mereka bercerai karena kekurangan dari pasangannya, bukan karena diri sendiri.
The Marital Disaffection Process
Ketika pasangan berhenti saling mencintai dan membangun keintiman diantara mereka berdua, mereka mulai menunjukkan akhir dari sebuah pernikahan. Banyak ahli percaya dan setuju bahwa hal yang menyebabkan tingginya tingkat perceraian adalah ketidakmampuan merealisasikan harapan pernikahan.
Ketidakpuasan pernikahan melibatkan kehilangan kasih sayang, menolak memberikan perhatian, meregangnya kedekatan emosi, dan sikap tidak perduli yang semakin bertambah. Perasaan positif digantikan dengan perasaan netral dan bahkan bisa menjadi perasaan negatif. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa sikap saling bermusuhan merupakan hasil dari masalah lain dalam hubungan, dibandingkan dengan penyebab awal. Pasangan suami istri mengatakan bahwa mereka bercerai karena tidak mencintai lagi satu sama lain, tapi, rasa tidak mencintai biasanya merupakan konsekuensi dari tahun ketegangan yang tak terselesaikan didalam hubungan.

Deskripsi tentang ketidakpuasan pernikahan oleh Kersten (1990):
·         Fase Awal
Ditandai dengan peningkatan kekecewaan, perasaan terluka, dan marah. Pasangan masih optimis terhadap masa depan pernikahan dan berusaha menyelesaikan masalah mereka dengan menegaskan perasaan mereka, dengan usaha untuk menyenangkan pasangannya.
·         Fase Tengah
Intensitas dan frekuensi kemarahan dan luka semakin meningkat. Mulai memikirkan untuk tetap atau meninggalkan pernikahannya. Usaha menyenangkan pasangan berkurang, namun usaha penyelesaian masalah (seperti program drug treatment) meningkat.
·         Fase Akhir
Sering muncul rasa marah, perasaaan menolak untuk mempercayai, serta perasaan tidak berdaya semakin meningkat. Sering muncul pikiran untuk mengakhiri pernikahan. Masih dapat ditolong dengan bantuan konseling, dan sebagainya.
Dasar pembubaran hubungan pernikahan adalah persepsi bahwa harga yang harus dibayar untuk tinggal bersama lebih berat daripada apa yang didapat. Pasangan hanya fokus pada perasaan negatif saja, sehingga sangat sulit untuk mengubah perasaan mereka. Jika pernikahan dibubarkan, pasangan yang puas akan terus fokus pada sifat-sifat negatif dari mantan pasangan sehingga meyakinkan dirinya bahwa perceraian adalah solusi yang adil.
THE DIVORCE DECISION
Keputusan untuk bercerai adalah salah satu yang paling sulit bagi banyak orang. Sedikit pasangan dapat membuat suatu keputusan secara mudah dan cepat; sebaliknya, mereka kadang-kadang bertahan beberapa bulan atau tahun sebelum mengakhiri keputusan. Kemudian, pasangan mungkin bertukar pikiran mereka selama berjalannya waktu, berpisah berkali-kali dan kemudian kembali lagi bersama-sama. Banyak pasangan mengajukan surat permohonan untuk bercerai, hanya untuk menarik diri. Yang lainnya kadang pergi ke pengadilan dan kemudian bertukar pikiran pada menit terakhir.
Bagi konselor, itu merupakan hal yang sangat sulit untuk memprediksikan yang akan atau yang tidak akan diceraikan. Beberapa pasangan memiliki masalah yang relatif ringan tetapi berhenti dengan mudah. Pasangan yang lain kelihatan seperti ingin bercerai tetapi dengan seluruh usaha dan motivasi dapat menghambat perceraian dan membuat sebuah akhir pernikahan yang baik. Hasil tergantung dari sebagian motivasi dan komitmen pasangan.
Adapun, tentu, beberapa pasangan yang tidak pernah bercerai, tetapi tidak selalu karena cinta dua orang satu sama lain atau cocok. Perhatikan kasus:
             Mr. And Mrs. P. Sudah menikah selama 43 tahun. lelaki itu berumur 79 tahun dan            wanita itu 76 tahun. mereka sudah saling membenci satu sama lain. Mereka berkata          dan melakukan suatu hal yang tidak menyenagkan satu sama lain. Mereka selalu   mengkritik satu sama lain dan konflik yang kronis. Mereka tidak memiliki          persahabatan, tidak pernah berbagi aktivitas sosial secara bersama-sama. Lelaki itu             gay, mencintai lelaki, dan tidak pernah berhubungan dengan wanita itu. Lelaki itu         cerdas, verbal, dan artistik. Wanita itu tidak memiliki sesuatu apapun. Lelaki itu             dreamer, sedangkan wanita itu lebih praktis. Alasan yang mereka terima untuk hidup        bersama adalah memiliki dua social security checks sebagai pengganti dari salah             satunya.
Berdasarkan pertukaran teori, pertengkaran adalah seperti ketika biaya dari perceraian tinggi, penghalang untuk keluar dari pernikahan besar, dan alternatif sedikit. Levinger (1979) menyusun teori tiga faktor dari penyatuan pernikahan, mengidentifikasikan tiga dasar pertimbangan dalam memutuskan ketika meninggalkan pernikahan:
Kepuasan atau daya tarik pada pernikahan
Ada kekuatan untuk memperkuat ikatan pernikahan. Itu mungkin termasuk pemenuhan seksual, ikatan emosional, kepedulian, cemas, dan saling membutuhkan satu sama lain. Attractions juga mungkin mencakup socioeconomic rewards: penghasilan yang baik, peningkatan standard hidup, status sosial yang superior, rumah bagus, jaminan ekonomi yang lebih, atau kebutuhan akan jasa fisik pada suami istri dapat dilengkapi.
1.      Penghalang untuk keluar dari pernikahan
Ada kekuatan untuk mencegah pernikahan yang rusak. Pada suatu studi, tiga penerima penghalang diberitahukan paling sering oleh partisipan sebagai yang sangat penting:
a.          kemungkinan akan penderitaan anak-anak (50.1%)
b.         ancaman kehilangan anak (46%)
c.          kepercayaan beragama (41.4%)
Sekitar 33% dari pernikahan individu merasa bahwa kepercayaan mereka kepada suami istri mereka sangat penting dijaga pernikahan utuh mereka, ketika 31% diberitahukan kepercayaan suami istri mereka sangatlah penting. Ketika pasangan menikah menerima keamanan finansial yang penting, itu tidak cukup penting menjaga  mereka dari perceraian.
Ketika penerima ancaman dianalisa seberapa baik mereka sesungguhnya terhalang bercerai, hanya dua kekurangan kemungkinan untuk bercerai:
a.       kepentingan dari kepercayaan beragama
b.      kepercayaan dari salah satu suami dan istri.
Ketika respon berbeda berdasarkan gender, itu menjadi jelas bahwa peringkat wanita menerima kepercayaan kepada suami mereka dan kepercayaan beragama lebih dari ancaman esensial untuk bercerai dan peringkat lelaki lebih tinggi ancaman untuk kehilangan anak dan pengaruh dari keluarga dan teman. Respon dari ancaman lain tidak berbeda secara signifikan antara wanita dan pria. Tidak ada satupun penerima ancaman yang melibatkan anak yang ditemukan menjadi penghalang pada perceraian. Sejauh ini, meskipun banyak orang menerima ancaman untuk bercerai dan nilai mereka sangat penting, ancaman itu jelas tidak dijaga pasangan bersama-sama.
2.      Ketertarikan dari alternatif pada pernikahan
Meliputi evaluasi personal; ketertarikan seksual, penampilan, usia, dan faktor lain yang mempengaruhi kemungkinan menikah lagi. Individu dengan status sosioekonomi tinggi menikahi wanita yang lebih menarik. Orang dengan self-esteem yang tinggi dan orang yang berkompeten akan merasa bahwa mereka dapat menemukan pasangannya kapan pun. Pasangan dengan pendidikan yang baik, pendapatan tinggi, dan kecerdasan; jika mereka bercerai dari pasangannya maka mereka masih mampu hidup dengan baik.
Kekuatan motivasi untuk bercerai adalah keinginan untuk meninggalkan suami/istri untuk menikah dengan orang lain. Orang yang rumit terus menerus secara emosional dan hubungan seksual diluar pernikahan mungkin tidak menjadi bimbang untuk menerima perceraian sebagai orang yang tidak memiliki siapapun disampingnya. Ketika kejadian extramarital sering memiliki hasil pernikahan yang tidak bahagia, itu juga mungkin penambahan semangat untuk mengakhiri pernikahan.
Sebenarnya ada faktor keempat yang mempengaruhi pembuatan keputusan itu tetapi Levinger tidak mendiskusikannya yaitu kekuatan dari emosi yang menyakitkan dapat membuat pernikahan menjadi tidak bahagia.
Pada suatu situasi, tidak ada pertanyaan pada pikiran individu bahwa bercerai diterima. Satu dari pertanyaan yang paling didebatkan adalah ketika atau bukan pasangan yang seharusnya tinggal bersama untuk tujuan anak. Sebagian ilmuan sosial percaya jawaban iya, kecuali kekerasan terjadi pada hubungan, karena banyak pernikahan berakhir pada perceraian yang dapat diselamatkan. Booth dan Amato (2001) mempelajari data longitudinal nasional dari orang tua dan anak dewasa mereka untuk menjelaskan cara dimana jumlah dari konflik pengaruh pernikahan berdampak pada perceraian anak. Mereka menemukan bahwa banyak pernikahan berakhir pada perceraian yang low-conflict. Perceraian pada pernikahan yang low-conflict dapat merusak anak sebagai anak dapat tidak menyadari ketidakbahagiaan dan mungkin goncangan yang komplit ketika orang tua mereka bercerai. Booth dan Amato (2001) juga menemukan bahwa pernikahan yang high-conflict berakhir pada perceraian yang kelihatan netral atau efek yang berguna pada anak. Barangkali, keluar dari pernikahan yang high-conflict bermanfaat bagi anak karena itu menghilangkan mereka dari pengalihan, lingkungan rumah yang cukup stress. Perceraian bahwa bukan mendahului oleh periode jangka panjang dari pertentangan yang jelas mungkin terlihat tidak diduga-duga, tidak dikehendaki, dan kejadian yang tidak terkontrol, kejadian pada anak seperti pengalaman yang cukup stress.
Menurut Booth dan Amato, ada 2 kategori anak yang bermasalah dimasa depan secara psikologis:
·            Anak yang tumbuh dengan orang tua yang kembali berkonflik dan bermusuh
·           Anak yang tinggal dengan orangtua dengan low-conflict dan bagaimanapun akan bercerai
Bagaimanapun, tidak setiap orang setuju bahwa pasangan seharusnya tinggal bersama ketika mereka memiliki pernikahan yang low-conflict. Sebagian studi menunjukkan umur 5-6 tahun menerima orang tua mereka yang pernikahan low-conflict menjadi konflik yang tinggi. Hasil lain menunjukkan bahwa anak lelaki terletak pada keluarga two-parents dimana orangtua yang dingin memiliki waktu yang sulit menunjukkan intimasi dari yang terletak pada keluarga yang bercerai.
Realita menunjukkan, sangat sedikit pernikahan yang bahagia atau tidak bahagia sepanjang waktu. Waite dan Gallagher (2000) menemukan bahwa pasangan yang memiliki peringkat persen terendah pada kepuasan pernikahan tetapi yang tidak bercerai sering dikatakan mereka sangat senang selama 5 tahun terakhir. Berdasarkan survey keluarga nasional dan data rumah tangga, mereka menemukan sekitar 64% disana yang mengatakan mereka tidak bahagia tetapi tetap tinggal bersama dilaporkan mereka senang selama 5 tahun terakhir dan lainnya 25% dilaporkan terjadi peningkatan pada pernikahan mereka. Yang menarik, hampir 75% dari pasangan suami istri yang dilaporkan pernikahan tidak bahagia melaporkan selama diri mereka bahwa mereka senang pada pernikahan mereka.
ALTERNATIVE TO DIVORCE
Bila pasangan tidak puas dengan pernikahan mereka, mereka bisa mempertimbangkan konseling pernikahan, program pengayaan pernikahan dan perpisahan.
Marriage Counseling
Beberapa pasangan perlu mempertimbangkan bahwa ada alternatif untuk bercerai. Salah satu alternatif yang penting adalah konseling pernikahan. Pilihan ini bertujuan untuk melihat apakah dengan adanya bantuan profesional pernikahan dapat menjadi bahagia atau sukses. Pasangan cenderung skeptis tentang hasil konseling, terutama jika mereka sebelumnya tidak pernah berkunjung ke seorang konselor atau memiliki pengalaman menyenangkan dengan terapis. Tidak semua terapis memiliki kompetensi yang sama. Analisa mengenai efek dari pernikahan dan terapi keluarga menunjukkan hal ini berlangsung dengan baik (Shadish, Ragsdale, Glaser dan Montgomery, 1995).             Penelitian lain telah menunjukkan bahwa terapi efektif perkawinan, setidaknya dalam jangka pendek dapat mengurangi konflik perkawinan. Selain itu, penelitian telah menunjukkan terapi efektif perkawinan dalam jangka panjang untuk meningkatkan stabilitas perkawinan, mengurangi konflik dan menghindari perceraian.
Terapi atau konseling pernikahan telah menjadi bisnis yang berkembang karena lebih banyak orang telah tumbuh untuk merasa nyaman dan meminta bantuan untuk hubungan mereka. Selain itu, beberapa negara juga memerlukan konseling sebelum perceraian diucapkan.
Marriage Enrichment
Program marriage enrichment mengkombinasikan pendidikan dengan diskusi kelompok untuk membantu pasangan meningkatkan hubungan komunikasi dalam pernikahan dan memecahkan masalah. Program yang dilakukan dalam suatu kelompok secara singkat sebelum atau sesudah pernikahan atau beberapa tahun setelahnya. Tujuan utama program ini adalah mencegah; untuk meluruskan isu sebelum menjadi konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Salah satu program tersebut adalah The Prevention and Relationship Enhancement Program (PREP), yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan anggota dan aturan untuk menangani konflik dan meningkatkan keintiman. PREP merupakan pendidikan, tidak disajikan sebagai terapi atau konseling.
Separation
Percobaan perpisahan adalah salah satu alternatif dalam perceraian. Perpisahan bisa menjadi metode treatment yang efektif dalam beberapa kasus. Khususnya pada perpisahan yang terstruktur dan apabila terapi pernikahan dilanjutkan selama perpisahan. Perpisahan ini tidak menjadi sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah waktunya pergolakan emosi dan stress yang berlebihan—untuk pasangan dan anak-anak—dan hal ini memiliki manfaat dan resiko yang cukup potensial.
Perpisahan yang terstruktur mungkin didefinisikan sebagai habisnya waktu untuk pendekatan, dimana pasangan berakhir dengan kohabitasi, berjanji mengikuti terapi dengan terapis sesuai dengan jadwal dan setuju untuk adanya kontak antarpribadi secara rutin. Dengan penundaan pada keputusan akhir, baik itu rujuk ataupun perceraian.
§  Extreme conflict.
Frekuensi, intensitas dan durasi konflik menjadi sangat luar biasa sehingga pasangan tidak dapat menoleransinya. Kekerasan secara fisik atau emosi dan agresi verbal.
§  Absence of spousal reinforcement.
Sedikit atau tidak adanya reward, kesenangan atau kepuasan dari hubungan pernikahan dan perpisahan dapat meningkatkan level hubungan timbal balik positif.
§  Feeling constricted or smothered.
Satu atau kedua pasangan membutuhkan ruang secara personal dan emosional, terlepas dari kontrol pasangan dan cemburu, dan kesempatan untuk perkembangan personal dan kebebasan secara individual ketika mereka memperbaiki hubungan mereka.
§  A situational or midlife transition.
Keadaan peralihan mencakup hilangnya orang yang dicintai, perubahan pekerjaan, perpindahan kedaerah baru atau anak meninggalkan rumah. Masa paruhbaya dikarakteristikkan dengan evaluasi dari satu pencapaian untuk suatu tujuan. Dapat menghasilkan peningkatan kepuasan dengan status quo, mengkalibrasi arah saat ini atau identifikasi seluruh tujuan baru. Pada kasus ekstrim, dapat meliputi kekecewaan, depresi, stagnasi, menyalahkan diri sendiri, kehilangan arah dan pergolakan emosional.
§  Indecision regarding divorce.
Apabila pasangan tidak dapat memutuskan perpisahan antar pasangan yang terstruktur mungkin dapat berakibatkan buruk dalam dilema membuat keputusan.
Beberapa pasangan menginginkan perpisahan untuk menjalani hubungan seksual lain. Beberapa pasangan akan setuju untuk berpisah karena untuk kebebasan memiliki pernikahan lain. Apabila pasangan benar-benar serius mengenai kelanjutan pernikahan, hal itu akan lebih membantu untuk memutuskan terlebih dahulu hubungan gelap dan pekerjaan didalam pernikahan. Dan apabila pasangan melanjutkan hubungan gelap mereka biasanya tidak bisa melanjutkan pernikahan mereka.
NO-FAULT DIVORCE AND MEDIATION
            Perceraian adalah metode yang legal untuk mengakhiri pernikahan. dalam perceraian (1) kedua pihak dapat menikahi orang lain; (2) properti dibagi berdasarkan hutang mereka; dan (3) jika anak-anak termasuk, perawatan dan penjagaan mereka dipastikan.
            Biasanya perceraian dapat dilakukan jika satu pihak dinyatakan bersalah,seperti berselingkuh. Tetapi, pada tahun 1970 di California dikeluarkanlah undang-undang no-fault divorce yang pada dasarnya menyatakan bahwa mereka tidak mengatribusikan kesalahan dan hal-hal lain yang menyebabkan salah satu pasangan dinyatakan tidak bersalah sementara yang lainnya dinyatakan bersalah. Undang-undang no-fault divorce ini didasarkan pada adanya gangguan pada pernikahan atau ketidakmampuan pasangan untuk berfungsi sebagai pasangan suami-istri.
            Beberapa peneliti percaya bahwa undang-undang ini menyebabkan peningkatan dalam perceraian. Oleh karena itu, mediasi dan banyak bentuk resolusi untuk perselisihan lain bermunculan sebagai hasil dari tingginya tingkat perceraian. Satu keuntungan menggunakan mediator adalah mereka dapat secara objektif mewakili kepentingan antara orangtua dan anak. satu keuntungan dari penyelesaian secara mediasi adalah pasangan cenderung memenuhi keputusan yang mereka buat bersama daripada financial judgement yang disuruh oleh pengadilan yang menentang kehendak pasangan.
            Singkatnya, proses dari no-fault divorce menggunakan lebih sedikit ligitasi ekstensif (kasus pasangan tanpa manfaat dari pengacara), mengurangi biaya legal dan membuat perceraian yang “ramah” lebih mudah daripada melalui sistem adversarial.
ADULT ADJUSTMENT AFTER DIVORCE
Permasalah penyesuaian diri setelah perceraian mencakup:
  1. Menyingkirkan trauma emosional dari perceraian.
  2. Berhadapan dengan sikap dari lingkungan.
  3. Kesendirian dan permasalahan penyesuaian diri kembali terhadap lingkungan sosial.
  4. Penyesuaian diri terhadapa noncustodial spouse.
  5. Keuangan.
  6. Penyusunan kembali kewajiban dan peran kerja.
  7. Kontak dengan mantan pasangan.
8.                  Interaksi kekerabatan.
Emotional Trauma
            Perceraian dapat menjadi pengalaman yang menganggu secara emosional. Krisis emosional biasanya disebabkan oleh kehilangan yang tiba-tiba. Trauma akan semakin besar ketika satu pasangan ingin bercerai sedangkan yang lainnya tidak, ketika ide tersebut datang tanpa diduga, ketika salah satu pasangan tetap terikat secara emosional setelah bercerai atau ketika teman dan keluarga tidak menerima.
            Fakta bahwa kesehetan fisik menurun, konsumsi alkohol meningkat dan peningkatan bunuh diri terhadap orang yang bercerai daripada pasangan menikah mengindikasikan bahwa perceraian bisa traumatis.
Social Attitudes toward Divorce
            Beberapa pandangan menyatakan bahwa perceraian merefleksikan kegagalan moral atau ketidakcakapan personal. Bagaimanapun juga, sikap negatif berkurang seiring perceraian semakin sering terjadi. Satu alasan adalah bahwa orang yang mengingat pernikahan orangtuanya tidak bahagia atau yang mengalami perceraian orangtua mempunyai sikap yang lebih dapat menerima kemungkinan mereka bercerai dan perceraian orang lain.
Loneliness and Social Readjustment
            Bahkan ketika dua pasangan yang telah menikah tidak akur, paling tidak mereka mengetahui bahwa ada seseorang lain di dalam rumah. Setelah bercerai, mereka mulai menyadari bahwa mereka hidup sendiri. Penyesuaian diri ini lebih sulit khususnya pada pasangan yang tidak mempunyai anak atau anaknya tinggal dengan pasangannya.
Adjustments to Custody Arrangements
            Penyesuaian terhadap tahapan untuk membesarkan anak bervariasi. Kepedulian  orang tua kehilangan anak mereka dan sering mencari-cari kesempatan untuk bersama mereka. Mereka sering mengalami kecemasan dan perasaan bersalah ketika mereka tidak dapat bersama anak-anak mereka lagi dan beraktivitas lagi bersama anak-anak mereka. Orang tua lain sebenarnya meninggalkan anak-anak mereka, tidak pernah bertemu, menghubungi ataupun menyurati mereka atau mengingat liburan dan ulang tahun. Kategori ketiga dari orang tua ingin bertemu dengan anak mereka lebih sering tetapi dihambat oleh situasi dan keadaan. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa perceraian mengurangi kedekatan antara orang tua yang tidak mendapat hak membesarkan anak dengan anak mereka.
King dan Heard (1999) mempelajari interaksi keluarga yang bercerai, berdasarkan 1.565 respon dari wanita yang bercerai kepada National Survey of Family and Households. Mereka menemukan bahwa seorang ibu lebih menyukai adanya suami walaupun beberapa masalah muncul akhirnya. Menariknya, studi ini tidak menemukan hubungan antara ayah dan perkembangan anak,. Tetapi, kepuasan dan kesenangan ibu memainkan peran penting terhadap masa depan anak, kemajuan anak terganggu ketika ibu tidak senang, apapun itu masalahnya.
Shapiro dan Lambert (1999) menguji National Survey of Families and Household untuk mengidentifikasi efek dari perceraian pada kualitas hubungan antara ayah dan anak. Mereka menemukan bahwa ayah yang bercerai dengan hak untuk membesarkan anak mendapat kualitas hubungan yang buruk dengan anak mereka daripada ayah yang masih melanjutkan pernikahan.
G. Stone (2002) meneliti peran dari berbagai jenis dukungan sosial terhadap kemajuan psikologis dari ayah yang bercerai dan tidak memiliki tempat tinggal. Penelitian ini menyatakan bahwa temmpat kerja untuk ayah adalah tempat penting untuk mendapat dukungan dan dorongan untuk meningkatkan kemajuan psikologis mereka setelah bercerai. Sayangnya, banyak tempat kerja yang tidak bersahabat dengan seorang ayah. Levin dan Pittinsky (1997) menyatakan bahwa beberapa perubahan penting harus ada di tempat kerja: menghargai seorang ayah dan pentingnya ayah dalam kehidupan anak.
Finances
            Di samping semua kemajuan, wanita masih memperoleh sedikit penghasilan dibandingkan pria. Beberapa ibu hanya menerima sedikit bantuan atau bantuan tidak menentu dari mantan suami mereka. Meskipun banyak ibu yang bercerai bekerja, penghasilan mereka lebih rendah, dan ibu dengan hak membesarkan anak sering mengalami kesulitan ekonomi yang serius.
            Seperti yang didiskusikan sebelumnya, meskipun pengadilan mungkin memerintahkan orang tua untuk membayar biaya untuk anak, banyak orang tua yang mendapat hak membesarkan anak tidak menerima sejumlah yang diharuskan diberi kepada mereka dan beberapa tidak menerima bantuan finansial dari mantan suami atau istri mereka untuk membantu biaya dalam membesarkan anak mereka.
Realignment of Responsibilities and Work Roles
            Orangtua bercerai dengan penjagaan anak-anak dihadapi dengan prospek dari sebab pekerjaan yang terlalu berat.Sekarang orangtua singel harus menampilkan semua fungsi keluarga yang dulu nya dibagi oleh dua orang.orangtua single juga harus mengatur kembali peran pengsauhan termasuk mengambil kembali fungsi yang dulunya dipenuhi melalui orangtua bukan penjaga/pengasuh. Sebagai konsekuensinya orangtua penjaga memberikan waktunya untuk anak-anak, kurang mampu mendengarkan dan sering mempunyai pengontrolan masalah yang lebih dan memandu anak-anak. Jadi apakah laki-laki atau perempuan, orangtua tunggal harus memenuhi semua fungsi keluarga dan bisa memiliki sokongan atau bantuan yang kecil dari tanggungjawab.
Contact with the Ex-Spouse
            Banyak pasangan begitu marah pada pasangan mereka ketika mereka bercerai bahwa mereka membawakan perasaanya melalui proses perceraian dan kadang-kadang selama beberapa tahun. Adalah penting untuk pasangan yang menikah untuk melalaui kemarahan mereka dan jangan mencemarkan hubungan dengan anak-anak mereka dan jangan menggantikan anak-anak ditengah-tengah ketidaksetujuan mereka.
            Lebih menggangu setelah perceraian itu dan pasangan yang lebih dendam, kurang keinginan orang lain untuk memiliki kontak setelah perceraian.ini masalah yang paling utama dari pernikahan. Kebanyakan objek istri atau suami yang kedua berhubungan dengan mantan pasangan,karna ini biasanya menuju kemarahan dan konflik terkhusus jika seseorang pasanagan lama mencoba untuk menyebabkan kesusahan untuk pasanagan baru.
            Ketika kontak dipelihara itu biasanya dalam hal hubungan terhadap anak-anak atau dukungan keuangan. Ketika anak-anak memiliki masalah kedua orangtua dibutuhkan untuk terlibat dan menghubungkan atau  membicarakan masiang-masing masalah. Dalam kasus ini hubungan yang bersahabat membantu mereka mengerjakan hal-hal dan membuat hal-hal lebih  mudah pada anak-anak. Kadang-kadang pasangan kembali ke meja sidang atas sengketa setelah perceraian.
            Kebanyakan sengketa setelah perceraian dihubungkan pada visi yang benar dan dukungan anak-anak. Sengketa lain mungkin terjadi jika  seorang mantan pasangan mencoba untuk mengurangi dukungan dalam hal pembayaran. Kebanyakan pasangan memiliki kesulitan memecahkan pendekatan emosional mengiuti perceraian. Ini meningkatkan pengalaman stress si subjek. Pendekatan yang lebih besar lebih menyulitkan pasangan dalam menyesuaikan pada perceraian.
Kinship Interaction
Kedua yang bercerai pria dan wanita percaya pada keluarga dalam waktu bercerai terkhusus untuk dukungan sosial-emosi untuk membebaskan bahaya atau derita psikologis. Banyak orangtua aktif dalam penenangan keteganagan dalam hidup anak-anak dewasa dan cucu dari perceraian mereka.
Laki-laki kemungkinan percaya pada keluarga dalam tahap awal perceraian dan wanita selama periode waktu yang lebih lama.Perceraian adalah proses multi-generalisasi bahwa pengaruh orangtua dan keluarga  lainnya sebaliknya perceraian pasangan dan anak-anak mereka.
Dalam dukungan positif dari orangtua dapat memiliki sebuah pengaruh penting pada penyesuaian perceraian. Perilaku yang sangat membantu termasuk :
  1. Dukungan emosional: mendengarkan ,menunjukkan empati dan menyatakan cinta dan kasih saying
  2. Kepedulian terhadap anak: ini mungkin bermakna sekali-sekali mengasuh anak,dan mengunjungi cucu selama waktu pekan.
  3. Nasehat yang rasional dan baik : termasuk membicarakan keputusan bersama orangtua.
  4. Respek atau menghormati kebebasan dan kemunduran: perceraian orang-orang yang meiliki kebutuhan yang berbeda-beda, yang lain ingin menurunkan ketergantungan yang sementara.
Pengaruh dari perceraian berbeda antara lelaki dan perempuan. Pada umumnya perempuan yang bercerai dengan penjagaan anak memiliki hubungan yang lebih dengan orangtua dan menerima bantuan yang lebih dari orangtua dari pada perempuan yang menikah. Lelaki sebaliknya memiliki hubungan yang lebih dengan orangtua dan menerima bantuan penjagaan anak yang lebih ketika mereka menikah daripada mereka yang berada dalam kondisi yang lain.
            Wanita lebih kemungkinan daripada pria untuk memelihara ikatan dengan keluarga yang lama. Hubungan dengan keluarga lama tidak didukung dan cenderung untuk mengakhiri dengan kasar setelah perpisahan dengan kesempatan yang kecil dari penerusan berikutnya.
CHILDREN AND DIVORCE
Tidak ada jawaban yang pasti mengenai bagaimana perceraian mempengaruhi anak, karena masing-masing dari mereka memiliki pernikahan orang tua yang bermacam-macam. Namun, hal ini tetap perlu didiskusikan.

Child Custody
Istilah custody (pengasuhan) mengacu kepada dua hal, yaitu:
  1. Legal custody (orang yang memiliki hak mengambil keputusan)
  2. Physical custody (dimana anak akan tinggal)
Legal custody terdiri atas dua, yaitu:
  1. Sole legal custody, yaitu orang tua yang tidak mengasuh anak kehilangan hak untuk membuat keputusan mengenai kesehatan, pendidikan, atau latihan keagamaan anak; akibatnya orang tua yang mengasuh anak diberi kontrol untuk membesarkan anak.
  2. Joint legal custody, yaitu pengasuhan anak dilakukan bersama-sama antara kedua orang tua, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Ada keuntungan dan kerugian terhadap masing-masing penetapan itu. Secara tradisional, sole custody pada anak telah diperbolehkan untuk dilakukan oleh ibu kalau si ibu  tidak sehat. Telah diketahui bahwa ibu-ibu cenderung lebih memuaskan dalam mengasuh anak dibandingkan ayah. Akan tetapi, semakin banyak pria yang menjadi orang tua asuh dan sebagai pasangan yang turut dalam memperhatikan minat anak dan sering melakukan pengasuhan bersama (joint custody). Semakin populernya penjagaan anak secara bersama-sama adalah respon terhadap perubahan peran gender dalam masyarakat, seperti perubahan bertahap  menuju pada pembagian tanggung jawab yang sama dalam keluarga antara ibu dan ayah (Juby, Le Bourdais, dan Marcil-Gratton, 2005). Studi menunjukkan bahwa joint custody mempunyai keuntungan bagi beberapa anak dengan mempertahankan keterlibatan kedua orang tua, dan bahwa anak dengan joint custody atau legal custody diatur dengan lebih baik daripada anak dengan aturan sole custody (Bauserman, 2002). Akan tetapi, kemampuan kedua orang tua untuk dapat bekerja sama dalam mengasuh anak juga merupakan hal yang penting.
Child Support
Memberikan dukungan terus menerus pada anak adalah salah satu kewajiban orang tua, yang diatur dalam undang-undang, baik orang tua tersebut menikah atau tidak. Karena 84% orang tua yang mengasuh anak adalah wanita, dukungan ayah yang paling umum untuk anak adalah mentransfer sumber ekonomi terhadap anak-anak mereka. Transfer ini biasanya sangat penting untuk kesejahteraan anak.
Berdasarkan data  US Census Bureau, pada tahun 2002. Secara keseluruhan, 27,6% dari semua anak usia  di bawah 21 tahun tinggal di dalam keluarga yang salah satu orang tuanya tidak tinggal di rumah. Mayoritas besar pemberi nafkah terhadap anak adalah pria (84%), sementara wanita adalah 16% (Grall, 2003).
Ada 3 sistem esensial dalam menentukan jumlah pemberian dukungan terhadap anak:
  1. Menetapkan persentase pendapatan orang tua yang tidak menjaga anak berdasarkan jumlah tanggungan anak
  2. Menghitung dukungan berdasarkan gabungan pendapatan kedua orang tua, dimana masing-masing membayar persentase yang ditanggung bersama dari gabungan pendapatan mereka
  3. Mengambil pendapatan kedua orang tua tetapi diberikan pengecualian seperti pajak, pengeluaran, atau tanggungan lain dari orang tua yang tidak menjaga anak.
Dalam usaha menetapkan standar yang tepat mengenai kewajiban mendukung anak, dibuat undang-undang wajib yang berisi standar mendukung anak. Dalam studinya terhadap kewajiban mendukung anak, Coleman, Ganong, Killian, dan McDaniel (1999) menemukan sedikitnya persetujuan mengenai seberapa banyak uang yang seharusnya dibayarkan orang tua untuk mendukung anak, dengan kesenjangan yang besar antara yang direkomendasikan dan apa yang dianggap cukup oleh orang tua. Banyak orang tua merasa bahwa seharusnya ada pengurangan kewajiban ayah jika ibunya menikah kembali tetapi tidak jika hanya ayah yang menikah kembali.
Sistem menurut undang-undang memiliki tiga pendekatan untuk meningkatkan dukungan, yaitu:
1.    The deterrence-based approach, menggunakan hukuman menurut undang-undang untuk menjamin pembayaran dukungan. Ada data statistic yang menunjukkan bahwa pendekatan ini meningkatkan pembayaran dukungan oleh orang tua.
2.    The compliance approach, menggunakan pemeriksaan acak, dihasilkan dari dana yang disimpan dari pendapatan, sebelum pembayaran dukungan anak dilupakan. Pendekatan ini juga menunjukkan efek positif.
3.    The consensus approach, tidak takut pada hukuman atau pada aturan pembayaran, tetapi pada penerimaan sosial dan norma.
Ada dua strategi dalam mengembangkan norma yang tepat:
  1. Menjalankan undang-undang secara konsisten hingga perilaku berubah.
  2. Menggunakan media untuk meyakinkan masyarakat bahwa norma itu pantas.
Membuat pembayaran dukungan pada anak secara teratur sangat penting untuk kesejahteraan anak. Agar ia tahu bahwa ia diperhatikan oleh kedua orang tua, dan memenuhi seluruh kebutuhan sang anak.
Visitation Rights
Biasanya mengunjungi anak diperbolehkan pada orang tua yang tidak menjaga anak. Hak ini mungkin tidak terbatas (mengizinkan oraag tua berkunjung kapanpun) atau mungkin terbatas (membatasi waktu berkunjung hanya pada waktu tertentu). Mayoritas orang tua tidak tinggal dengan anak mereka melakukan joint custody atau hak berkunjung. Pasangan yang ingin balas dendam dapat membuat sengsara dengna mengatur kapan waktu bagi orang tua lainnya dapat berkunjung, dengan membuat pikiran anak bertentang dengan orang tua lainnya, tidak memperbolehkan anak menelepon atau menulis surat, atau dengan menggunakan hak berkunjung untuk mengontrol orang tua lainnya.
Reaction of Children
Sejumlah klinisian menekankan bahwa anak menerima perceraian sebagai suatu peristiwa negatis yang menimbulkan emosi rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Banyak klinisian merasa bahwa mayoritas anak mendapat keseimbangan psikologis dalam setahun atau lebih dan mulai lagi bertumbuh dan berkembang dengan normal. Pada kenyataannya, sekarang beberapa anak,seperti orang dewasa, percaya bahwa keputusan ornag tua mereka untuk bercerai adalah keputusan yang benar dan tidak menginginkan orang tua mereka tetap dalam pernikahan itu.
Salah satu debat yang paling besar dalam literatur perceraian adalah argumen “cukup baik untuk menikah” atau “cukup baik untuk bercerai”. Penelitian menemukan bahwa anak yang orang tuanya berpisah atau bercerasi lebih mungkin untuk mengalami masalah perilaku. Tetapi, anak dalam keluarga utuh dengan konflik ornag tua yang tinggi juga menyebabkan tingginya masalah perilaku. Jadi, perceraian dengan jelas mengganggu anak dan hidup bersama orang tua yang bertengkar terus juga menjadi masalah. Dan penelitian menunjukkan bahwa konflik orang tua memberikan ancaman yang lebih besar pada kesejahteraan anak daripada struktur keluarga.
Pengaruh perceraian pada anak tergantung pada banyak variabel: apakah perceraian itu meningkatkan atau mengurangi kualitas pengasuhan, apakah meningkatkan atau memperburuk atmosfir emosi di rumah, apakah baik atau menyakitkan, apa pengaruhnya pada orang tua, dan penjagaan seperti apa yang akan dilakukan. Tanpa memperhatikan variabel itu, perceraian membutuhkan penyesuaian dari banyak anak.
Pada saat mengalami perceraian, anak mungkin mengalami masa berkabung dan bersedih, dan suasana hati dan perasaannya mungkin sedih dan patah hati. Reaksi lainnya adalah menyalahkan diri mereka sendiri. Jika anak adalah sumber utama dari konflik pasangan, maka anak dapat merasa bertanggung jawab. Beberapa anak merasa bahwa orang tuanya meninggalkan mereka karena mereka bukanlah “anak baik”. Reaksi lainnya adalah anak mencoba untuk menyatukan orang tuanya.
Anak juga membuat penyesuaian lain. Mereka menyesuaikan diri dengan tidak adanya salah satu orang tua, yang mana biasanya adalah tempat mereka mendapat kasih sayang dan pertolongan. Anak yang lebih tua juga diwajibkan untuk lebih bertanggung jawab dalam fungsi keluarga seperti memasak, merawat rumah, bahkan mencari uang untuk mendukung keluarga. Ini memang pengalaman yang mendewasakan mereka, tetapi itu juga merupakan penyesuaian yang sulit.
Anak hasil perceraian juga mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik dengan saudara mereka ketika dewasa. Penyesuaian secara khusus juga diperlukan untuk anak yang orang tuanya bercerai. Jika orang tuanya menikah kembali, anak menyesuaikan diri kembali dengan orang tua tiri dan mungkin saudara tiri.
Beberapa orang tua mengikuti program dengan anak mereka untuk menolong anak menghadapi perceraian. Yang lainnya mengikuti sesi intervensi skill-building yang meningkatkan penyesuaian diri anak setelah perceraian.
Kesulitan mungkin tetap berlangsung dalam hubungan anak-orang tua ketika anak-anak dari keluarga bercerai hingga dewasa. Ketika anak mengalami kesulitan di awalnya, maka mereka harus banyak belajar menyesuaikan diri dengan baik. Perceraian mengatur kembali keluarga, tetapi itu bukanlah menghancurkannya.
PEMBAHASAN
            Skripsi mengenai perceraian yang tejadi di Indonesia yang kami temukan berjudul “Penyesuaian Perceraian pada Wanita Desa yang Bercerai” (sumber: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14519) membahas mengenai seorang wanita desa bernama Mai berusia 40 tahun. Saat ini bertempat tinggal di desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Sumut. Mai menikah dengan Amat, suaminya pada tahun 1987 dan dikaruniai empat orang anak. Mai menikah pada usia 19 tahun, namun pernikahan Mai tidak berlangsung dengan bahagia, suaminya berselingkuh dengan wanita lain, sering memukulinya, marah kepadanya, dan tidak memberikan uang belanja yang mencukupi. Hal ini memebuat Mai tidak tahan lagi untuk mempertahankan rumah tangganya, akhirnya Mai mengajukan perceraian terhadap suaminya.
            Tetapi Mai belum melegalkan perceraiannya secara hukum karena alasan ekonomi. Seluruh anak diasuh oleh Mai. Dari segi pendidikan, Mai hanya sampai kelas 2 SD. Saat ini bekerja sebagai buruh lepas persawahan di sekitar rumahnya. Setelah 2 tahun menalani pernikahannya, Mai merasakan ketidakbahagiaan dalam rumah tangganya. Ketidakbahagiaan itu berawal dari rasa curiga Mai terhadap suaminya yang memberikan uang belanja yang semakin berkurang sedikit demi sedikit. Mai juga mendengar berita dari teman-temannya bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Pertama kali mendengarnya, Mai tidak mempercayai berita itu begitu saja. Baginya, semua itu hanya fitnah. Menurut, deskripsi tentang ketidakpuasan pernikahan oleh Kersten (1990), Mai sedang berada pada fase awal dimana ditandai dengan peningkatan kekecewaan, perasaan terluka, dan marah. Akan tetapi, masih tetap ingin mempertahankan rumah tangganya.
            Seiring waktu perilaku suaminya mulai berubah, suaminya menjadi sering marah ketika berada di rumah. Bagi Mai perilaku marah suaminya disebabkan oleh masalah suaminya dengan selingkuhannya. Mai merasa kurang pantas mendapatkan perilaku seperti itu dari suaminya karena Mai sudah bekerja keras membantu suaminya mencari nafkah. Hal ini yang memicu pertengkaran diantara mereka berdua. Dalam hal ini, Mai berada pada fase tengah dimana usaha menyenangkan pasangan berkurang, namun usaha penyelesaian masalah meningkat.
            Selanjutnya, Mai merasa suaminya sudah mulai kasar terhadapnya dan semakin sering memukulnya. Akhirnya Mai menemukan bukti bahwa suaminya berselingkuh. Setelah itu, Mai terus mencari tahu mengenai perselingkuhannya dan berkonsultasi dengan dukun untuk menyelesaikan permasalahannya. Setelah berusaha untuk mempertahankan rumah tangganya Mai justru merasakan kesengsaraan sehingga membuatnya berfikir untuk bercerai. Mai mengakui sudah merasa putus asa dan tidak ingin lagi untuk berbaikan dengan suaminya. Setelah lima bulan mempertimbangkan keputusannya untuk bercerai, akhirnya Mai merasa bahwa perceraian adalah jalan terbaik. Setelah bercerai, Mai merasa senang karena tidak ada lagi penyiksaan yang dia terima. Ini adalah fase akhir dari ketidakpuasan pernikahan yang dirasakan Mai yang berakhir dengan perceraian.
            Setelah melakukan perceraian, maka Mai harus melakukan beberapa penyesuaian, baik pada diri sendiri, anak, maupun lingkungan sosialnya.
  1. Trauma emosional: Mai tidak merasakan sedih atas perceraiannya, karena menganggap bahwa bercerai adalah keputusan terbaik untuk menyelesaikan masalah rumah tangga mereka. Kehadiran teman juga membuat Mai dapat melupakan kesedihannya. Fokus pikiran Mai sekarang adalah kepada anak-anaknya.
  2. Sikap masyarakat: Mai memberitahukan mengenai perceraiannya dan tetangga mendukungnya bahkan menolong dia menjaga anaknya ketika Mai sedang bekerja. Hal ini disebabkan karena para tetangga telah mengetahui perilaku suaminya juga pekerjaan Mai. Mai juga tidak malu dengan status perceraiannya karena dia tidak merasa melakukan kesalahan.
  3. Kesepian dan social readjustment: Mai tidak merasa kesepian ataupun kehilangan suaminya, karena sejak menikah juga suaminya jarang tinggal dirumah. Tetapi, dia mengaku kehilangan tempat untuk mengadu masalah anak-anaknya. Sekali lagi, teman-teman sangat membantu Mai dalam mengatasi permasalahannya. Mai belum berpikiran untuk menikah lagi karena masih banyak hal yang harus dipertimbangkan.
  4. Pengaturan pengasuhan anak: pengasuhan anak diberikan pada Mai, hanya beberapa kali saja suaminya datang dengan alasan untuk menjenguk anak-anak. mantan suami Mai juga tidak menunjukkan keinginan untuk mengambil salah satu anak. Mengenai urusan anak, Mai tidak pernah lagi berdiskusi dengan mantan suaminya.
  5. Keuangan: hanya satu kali, setelah bercerai, mantan suaminya memberikan uang belanja untuk anak-anaknya. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kondisi keuangan keluarga Mai. Banyaknya kebutuhan Mai beserta anak-anaknya mengharuskan Mai untuk menambah pekerjaan sehingga bisa menghidupi kedua anaknya.
  6. Perubahan tanggung jawab dan peran kerja: pekerjaan rumah tangga biasa dilakukan Mai sendiri, karena mantan suaminya biasa mengurus belanja. Mai juga tidak merasa kesulitan dengan beban kerja yang bertambah karena sudah terbiasa. Dia hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok anak-anaknya.
  7. Kontak dengan mantan suami: setelah bercerai timbul rasa benci pada diri Mai terhadap suaminya, walaupun Mai mengaku tidak dendam. Mai tidak pernah lagi bertemu dengan mantan suaminya. Jika mantan suaminya datang kerumah untuk menjenguk anak-anaknya, Mai memilih pergi dan menghindar.
  8. Interaksi dengan keluarga: setelah bercerai Mai tidak pernah berniat berkunjung ke keluarga mantan suaminya, begitu juga dari keluarga suami.
PENUTUP
Kesimpulan
  • Faktor sosial dan demografis mengindikasikan kemungkinan perceraian, mencakup usia pernikahan, agama, status sosioekonomi, area geografis perceraian orangtua kehadiran anak.
  • Penyebab perceraian mencakup persepsi dari pasangan dan proses ketidakpuasan terhadap pernikahan.
  • Tiga dasar pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengakhiri pernikahan menurut Levinger mencakup kepuasan atau daya tarik pernikahan, penghalang untuk keluar dari pernikahan dan ketertarikan terhadap alternatif perceraian.
  • Alternatif terhadap perceraian mencakup konseling pernikahan, marriage enrichment, dan separasi.
  • Penyesuaian diri setelah perceraian mencakup trauma emosional, sikap masyarakat, kesepian, pengasuhan anak,keuangan, tanggung jawab dan peran kerja, kontak dengan mantan pasangan dan interaksi keluarga.
  • Pasangan dengan anak yang melakukan perceraian, harus memperhatikan beberapa hal, yaitu pengasuhan anak, dukungan pada anak, hak untuk mengunjungi anak dan reaksi anak-anak terhadap perceraian.