PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu
negara dengan tingkat perceraian yang cukup tinggi. Indonesia menduduki
peringkat keempat tingkat perceraian tertinggi didunia. Dari dua juta pasangan
yang melangsungkan pernikahan, 10% diantaranya berakhir dengan perpisahan. Pada
awal 2000-an, 30% perceraian terjadi karena suami menceraikan istri). Pada
2005, 68,5% perceraian terjadi kaena
istri menggunggat cerai suami. (Republika, 25 Juni 2011, dari Dirjen Binmas
Islam, Kemenag RI)
Perubahan nilai-nilai sosial yang
sedang terjadi ditengah masyarakat membuat tingkat perceraian semakin tinggi.
Peningkatan dalam kasus gugatan cerai yang diajukan istri kepada suami juga
dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi kaum wanita yang terus meningkat. Saat ini,
begitu mudah bagi pasangan suami istri untuk melakukan perceraian sebagai
solusi dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka.
Jumlah perceraian di Indonesia telah mencapai angka
yang sangat fantastis. Tercatat, pada tahun 2007, sedikitnya 200 ribu pasangan
melakukan pisah ranjang alias cerai. Meski angka perceraian di negara ini tidak
setinggi di Amerika Serikat dan Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari jumlah
total perkawinan), namun angka perceraian di Indonesia ini sudah menjadi rekor
tertinggi di kawasan Asia Pasifik.
Sedangkan di wilayah Jawa Timur, peningkatan angka
perceraian dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2003,
angka perceraian berjumlah 40.391 pasangan bercerai. Tahun 2004 meningkat
menjadi 42.769 dan tahun 2005 mencapai 55.509 kasus perceraian.
Faktor penyebab perceraian antara lain:
·
Ketidakharmonisan dalam rumah
tangga.
·
Krisis moral dan akhlak.
·
Perzinahan.
·
Pernikahan tanpa cinta.
·
Adanya masalah-masalah yang terjadi
dalam perkawinan.
Perceraian ini sendiri dapat menimbulkan masalah dalam
lingkungan sosial karena pasangan yang bercerai dianggap telah melanggar norma
sosial yang ada di masyarakat, pengaruhnya terhadapa anak dan trauma pasca
perceraian yang sangat mungkin terjadi, terutama bagi perempuan.
BAB II
TEORI
PROBABILITY OF DIVORCE:
SOCIAL AND DEMOGRAFIC FACTORS
Dindikasikan bahwa penyebab dari
perceraian itu termasuk didalamnya independensi wanita; faktor ekonomi;
pernikahan dini; konflik peran; dan banyak lagi penyebab lainnya. Disini kita
akan fokus pada korelasi antara faktor sosial dan demografis pada perceraian.
Marital Age
Usia pernikahan pertama merupakan salah
satu prediktor dari pernikahan yang sukses: seseorang yang menikah ketika
sangat muda lebih cenderung untuk bercerai daripada mereka yang menunggu sampai
mereka lebih tua. Faktanya, T. C. Martin dan Bumpass menyimpulkan bahwa usia
pernikahan pertama adalah prediktor terkuat pada lima tahun pertama pernikahan
dan bahwa efek negatif dari pernikahan dini terakhir jauh ke dalam pernikahan. Rujukan untuk
tinggal terpisah, serta masalah dengan penggunaan alkohol dan narkoba, lebih
sering dikutip sebagai alasan untuk perceraian bagi mereka yang menikah sangat
dini.
Religion
Frekuensi kehadiran di
tempat-tempat pelayanan ibadah berkorelasi secara kuat dan negatif dengan
perceraian. Yang berarti bahwa seseorang yang secara teratur mengunjungi tempat
ibadah lebih kecil kemungkinan untuk bercerai. Pengajaran agama bisa menjadi
faktor yang sangat kuat dalam memotivasi pasangan untuk mencoba membuat
pernikahan mereka sukses. Wineberg (1994) menemukan bahwa yang mempunyai
keyakinan agama yang kuat lebih mungkin untuk mendamaikan kesulitan yang muncul
dan agamalah yang sangat berkorelasi dengan keberhasilan rekonsiliasi.
Sosioeconomic Status
Status sosioekonomi ini
termasuk didalamnya pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Studi menunjukkan
bahwa tingkat perceraian lebih tinggi dalam level status sosioekonomi yang
rendah. Pada umumnya, pasangan
menghadapi masalah keuangan yang lebih
besar dan mereka lebih sedikit menghabiskan
waktu bersama-sama memiliki tingkat
perceraian yang lebih tinggi.
Individu yang status
sosioekonominya rendah bukan
hanya lebih mungkin dibandingkan individu
yang status sosioekonominya tinggi untuk mengakhiri pernikahan mereka dengan perceraian, tetapi mereka juga cenderung untuk bercerai untuk alasan yang berbeda. Sebagaimana tingkat pendidikan dan pendapatan meningkat, alasan yang dikutip untuk bercerai lebih
mungkin termasuk didalamnya penyebab yang berpusat pada
hubungan, seperti masalah ketidakcocokan dan kepribadian, dan kurang cenderung untuk memasukkan alasan seperti perilaku bermasalah atau penyalahgunaan.
Geographic Area
Angka perceraian
cenderung lebih tinggi di kota-kota
besar dan lebih rendah di kota-kota kecil atau daerah pedesaan, bahkan ketika disesuaikan untuk variabel-variabel lain seperti perbedaan etnis, agama, dan sosial
ekonomi. Hal ini dijelaskan
sebagian oleh tingkat mobilitas perumahan yang lebih tinggi antara orang-orang di kota-kota besar dan daerah perkotaan daripada di antara orang-orang di kota-kota kecil dan daerah pedesaan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat,
perubahan demografis, (tingkat kelahiran, tingkat kematian, proporsi lansia), dan
tingkat ketenagakerjaan semua
berkorelasi dengan angka perceraian.
Parental Divorce
Umumnya
dipercayai bahwa orang yang orangtuanya
bercerai lebih rentan terhadap perceraian
mereka sendiri. Jika kedua pasangan mengalami perceraian orang tua, risiko perceraian
meningkat. Risiko perceraian sangat tinggi
jika terjadi perceraian orangtua
ketika pasangan berusia
12 tahun atau lebih muda. Pasangan yang orangtuanya bercerai lebih cenderung memiliki masalah dengan amarah, kecemburuan, perasaan terluka, komunikasi, perselingkuhan,
dan lainnya. Sebagai anak-anak,
mereka mungkin telah ditunjukka model perilaku
yang buruk dan tidak
dapat mempelajari kemampuan dan sikap yang memfasilitasi keberfungsian yang sukses dalam
peran pernikahan mereka. Oleh karena itu,
mereka mungkin lebih cenderung untuk
memilih bercerai atau memiliki lebih banyak hubungan intim yang negatif.
The Presence of Children
Resiko marital dissolution tertinggi berada pada pasangan yang tidak
memiliki anak, mungkin karena mereka tidak memiliki alasan
untuk tinggal bersama seperti
jika memiliki anak. Terdapat perbedaan resiko marital dissolution tergantung pada umur dan banyaknya anak. Kemungkinan marital dissolution menurun karena jumlah
anak meningkat sampai maksimum
empat. Ketika pasangan memiliki lima atau lebih anak, maka kehidupan marital dissolution akan meningkat. Tingkat perceraian relatif rendah jika anak
terkecil berada dibawah umur tiga tahun, namun meningkat tajam ketika anak
tersebut mencapai pertengahan remaja, dan menurun banyak setelah ia mencapai
umur 17 tahun. Dengan demikian, efek stabilitas anak mengenai pernikahan paling kuat ketika mereka sangat muda atau ketika mereka telah mencapai usia dewasa. Suatu penelitian menemukan bahwa,
jika keluarga memiliki setidaknya satu anak (laki-laki), akan
meningkatkan waktu ayah dengan anak-anak
mereka. Jika ada keterlibatan
pihak ayah yang lebih dalam kehidupan keluarga, baik melalui investasi waktu ayah yang lebih banyak dengan anak-anak
atau melakukan pekerjaan rumah tangga,
wanita memiliki persepsi yang lebih besar terhadap keadilan dalam hubungannya dan lebih puas dengan pernikahan.
CAUSES OF MARITAL BREAKUP
Faktor
sosial dan demografis mengindikasikan kemungkinan perceraian, tetapi hal itu
tidak memperlihatkan penyebab perceraian yang sebenarnya. Penyebabnya mungkin
bisa dilihat dengan mengetahui persepsi mereka tentang alasan mereka untuk
bercerai.
Spouses’ Perceptions
Penelitian pada perceraian dan kepuasan pernikahan mengindikasikan
dua waktu kritis dalam pernikahan yang mengarah pada perceraian:
(1)
8 tahun
pertama pernikahan, dimana setengahnya mengalami perceraian,
dan
(2) Pertengahan kehidupan, ketika mereka biasanya memiliki anak
remaja.
Periode
terakhir telah dideskripsikan oleh beberapa peneliti sebagai kemungkinan poin
terendah dalam kepuasan pernikahan selama kehidupan. Gottman dan Levenson
menemukan perbedaan set variable prediksi early
divorce dan later divorce. Efek
negative selama konflik (misalkan, kritikan, hinaan, defensif) memprediksi early divorce. Kurangnya
efek positif dalam membahas kejadian hari itu (misalnya, karena gembira atau menunjukkan minat pada apa yang pasangan katakan) memprediksi
later divorce.
Gigy dan Kelly menemukan
bahwa alasan utama dalam perceraian (80% pada wanita dan pria dalam studi
mereka) peningkatan frekuensi berpisah, kehilangan rasa kedekatan, dan
kekurangan dalam merasakan cinta dan penghargaan. Intensitas dan kerasnya
pertengkaran hanya 40% pada pasangan. Dolan dan Huffman menemukan bahwa, tanpa
memperhatikan status sosioekonomi wanita, kurangnya dukungan emosional dan
ketidakcocokan merupakan frekuensi utama terhadap perceraian. Gottman dan Levenson
mengatakan, “mungkin mengubah sifat
afektif dari cara pasangan mendiskusikan topik-topik biasa seperti kejadian
hari mereka, di mana mereka baik membuat hubungan
emosional pada reuni atau gagal untuk melakukannya, dapat mempengaruhi cara mereka menyelesaikan konflik, dan mungkin saja masa depan pernikahan.”
Hubungan sebelum pernikahan
seperti bagaimana berkomunikasi dan menghadapi konflik, dapat menjadi indikator terbaik dalam stabilitas dan
kebahagiaan pernikahan. Clements, Stanley, dan Markman menemukan bahwa pasangan
yang tetap puas, menjadi tertekan, atau bercerai dapat diprediksi berdasarkan
data pra-menikah.
Dalam
studi yang lain, menyatakan bahwa pasangan yang penuh gairah dan memiliki sikap
yang positif dalam menjalani hidup cenderung memiliki kehidupan pernikahan yang
bahagia. Tetapi pasangan yang memiliki sikap moody, emosi yang tidak stabil, dan memiliki sikap negatif
cenderung memiliki kebahagiaan pernikahan yang rendah.
Amato
dan Prefity menemukan bahwa ketidaksetiaan adalah penyebab terbesar perceraian.
Akan tetapi, sulit untuk menentukan jika ketidaksetiaan adalah penyebab atau
konsekuensi dari masalah pada pernikahan. Penyebab lain adalah jarak yang
berjauhan, kepribadian, dan kurangnya komunikasi. Pasangan yang bercerai
cenderung menyatakan bahwa mereka bercerai karena kekurangan dari
pasangannya, bukan karena diri sendiri.
The Marital Disaffection Process
Ketika
pasangan berhenti saling mencintai dan membangun keintiman
diantara mereka berdua, mereka mulai menunjukkan
akhir dari sebuah pernikahan. Banyak ahli percaya dan setuju
bahwa hal yang menyebabkan tingginya tingkat perceraian adalah ketidakmampuan
merealisasikan harapan pernikahan.
Ketidakpuasan
pernikahan melibatkan kehilangan kasih sayang,
menolak memberikan perhatian, meregangnya kedekatan emosi, dan sikap tidak
perduli yang semakin bertambah. Perasaan positif digantikan dengan perasaan
netral dan bahkan bisa menjadi perasaan negatif. Akan
tetapi, perlu ditekankan bahwa sikap saling bermusuhan merupakan hasil dari
masalah lain dalam hubungan, dibandingkan dengan penyebab awal. Pasangan suami
istri mengatakan bahwa mereka bercerai karena tidak mencintai lagi satu sama
lain, tapi, rasa tidak
mencintai biasanya merupakan konsekuensi dari tahun ketegangan
yang tak terselesaikan didalam hubungan.
Deskripsi
tentang ketidakpuasan pernikahan oleh Kersten (1990):
·
Fase Awal
Ditandai dengan peningkatan kekecewaan,
perasaan terluka, dan marah. Pasangan masih optimis terhadap masa depan
pernikahan dan berusaha menyelesaikan masalah mereka dengan menegaskan perasaan
mereka, dengan usaha untuk menyenangkan pasangannya.
·
Fase Tengah
Intensitas dan frekuensi kemarahan dan luka semakin
meningkat. Mulai memikirkan untuk tetap atau meninggalkan pernikahannya. Usaha
menyenangkan pasangan berkurang, namun usaha penyelesaian masalah (seperti
program drug treatment) meningkat.
·
Fase Akhir
Sering
muncul rasa marah, perasaaan menolak untuk mempercayai, serta
perasaan tidak berdaya semakin meningkat. Sering muncul pikiran untuk
mengakhiri pernikahan. Masih dapat ditolong dengan bantuan konseling, dan
sebagainya.
Dasar pembubaran hubungan pernikahan adalah persepsi bahwa harga yang harus dibayar untuk
tinggal bersama lebih berat daripada apa yang didapat. Pasangan hanya fokus pada perasaan negatif saja, sehingga sangat sulit untuk mengubah
perasaan mereka. Jika pernikahan dibubarkan,
pasangan yang puas akan terus fokus pada sifat-sifat negatif dari mantan
pasangan sehingga meyakinkan dirinya bahwa perceraian adalah solusi yang adil.
THE
DIVORCE DECISION
Keputusan
untuk bercerai adalah salah satu yang paling sulit bagi banyak orang. Sedikit
pasangan dapat membuat suatu keputusan secara mudah dan cepat; sebaliknya,
mereka kadang-kadang bertahan beberapa bulan atau tahun sebelum mengakhiri
keputusan. Kemudian, pasangan mungkin bertukar pikiran mereka selama
berjalannya waktu, berpisah berkali-kali dan kemudian kembali lagi
bersama-sama. Banyak pasangan mengajukan surat permohonan untuk bercerai, hanya
untuk menarik diri. Yang lainnya kadang pergi ke pengadilan dan kemudian
bertukar pikiran pada menit terakhir.
Bagi
konselor, itu merupakan hal yang sangat sulit untuk memprediksikan yang akan
atau yang tidak akan diceraikan. Beberapa pasangan memiliki masalah yang
relatif ringan tetapi berhenti dengan mudah. Pasangan yang lain kelihatan
seperti ingin bercerai tetapi dengan seluruh usaha dan motivasi dapat
menghambat perceraian dan membuat sebuah akhir pernikahan yang baik. Hasil
tergantung dari sebagian motivasi dan komitmen pasangan.
Adapun,
tentu, beberapa pasangan yang tidak pernah bercerai, tetapi tidak selalu karena
cinta dua orang satu sama lain atau cocok. Perhatikan kasus:
Mr. And Mrs. P. Sudah menikah selama 43 tahun.
lelaki itu berumur 79 tahun dan wanita
itu 76 tahun. mereka sudah saling membenci satu sama lain. Mereka berkata dan melakukan suatu hal yang tidak
menyenagkan satu sama lain. Mereka selalu mengkritik
satu sama lain dan konflik yang kronis. Mereka tidak memiliki persahabatan, tidak pernah berbagi
aktivitas sosial secara bersama-sama. Lelaki itu gay, mencintai lelaki, dan tidak pernah berhubungan
dengan wanita itu. Lelaki itu cerdas,
verbal, dan artistik. Wanita itu tidak memiliki sesuatu apapun. Lelaki itu dreamer,
sedangkan wanita itu lebih praktis. Alasan yang mereka terima untuk hidup bersama adalah memiliki dua social security checks sebagai pengganti
dari salah satunya.
Berdasarkan pertukaran teori,
pertengkaran adalah seperti ketika biaya dari perceraian tinggi, penghalang
untuk keluar dari pernikahan besar, dan alternatif sedikit. Levinger (1979)
menyusun teori tiga faktor dari penyatuan pernikahan, mengidentifikasikan tiga
dasar pertimbangan dalam memutuskan ketika meninggalkan pernikahan:
Kepuasan
atau daya tarik pada pernikahan
Ada
kekuatan untuk memperkuat ikatan pernikahan. Itu mungkin termasuk pemenuhan
seksual, ikatan emosional, kepedulian, cemas, dan saling membutuhkan satu sama
lain. Attractions juga mungkin
mencakup socioeconomic rewards:
penghasilan yang baik, peningkatan standard hidup, status sosial yang superior,
rumah bagus, jaminan ekonomi yang lebih, atau kebutuhan akan jasa fisik pada
suami istri dapat dilengkapi.
1.
Penghalang
untuk keluar dari pernikahan
Ada
kekuatan untuk mencegah pernikahan yang rusak. Pada suatu studi, tiga penerima
penghalang diberitahukan paling sering oleh partisipan sebagai yang sangat
penting:
a.
kemungkinan akan
penderitaan anak-anak (50.1%)
b.
ancaman kehilangan anak
(46%)
c.
kepercayaan beragama
(41.4%)
Sekitar
33% dari pernikahan individu merasa bahwa kepercayaan mereka kepada suami istri
mereka sangat penting dijaga pernikahan utuh mereka, ketika 31% diberitahukan
kepercayaan suami istri mereka sangatlah penting. Ketika pasangan menikah
menerima keamanan finansial yang penting, itu tidak cukup penting menjaga mereka dari perceraian.
Ketika
penerima ancaman dianalisa seberapa baik mereka sesungguhnya terhalang
bercerai, hanya dua kekurangan kemungkinan untuk bercerai:
a.
kepentingan dari
kepercayaan beragama
b.
kepercayaan dari salah
satu suami dan istri.
Ketika
respon berbeda berdasarkan gender, itu menjadi jelas bahwa peringkat wanita
menerima kepercayaan kepada suami mereka dan kepercayaan beragama lebih dari
ancaman esensial untuk bercerai dan peringkat lelaki lebih tinggi ancaman untuk
kehilangan anak dan pengaruh dari keluarga dan teman. Respon dari ancaman lain
tidak berbeda secara signifikan antara wanita dan pria. Tidak ada satupun
penerima ancaman yang melibatkan anak yang ditemukan menjadi penghalang pada
perceraian. Sejauh ini, meskipun banyak orang menerima ancaman untuk bercerai
dan nilai mereka sangat penting, ancaman itu jelas tidak dijaga pasangan
bersama-sama.
2.
Ketertarikan
dari alternatif pada pernikahan
Meliputi
evaluasi personal; ketertarikan seksual, penampilan, usia, dan faktor lain yang
mempengaruhi kemungkinan menikah lagi. Individu dengan status sosioekonomi
tinggi menikahi wanita yang lebih menarik. Orang dengan self-esteem yang tinggi dan orang yang berkompeten akan merasa
bahwa mereka dapat menemukan pasangannya kapan pun. Pasangan dengan pendidikan
yang baik, pendapatan tinggi, dan kecerdasan; jika mereka bercerai dari
pasangannya maka mereka masih mampu hidup dengan baik.
Kekuatan
motivasi untuk bercerai adalah keinginan untuk meninggalkan suami/istri untuk
menikah dengan orang lain. Orang yang rumit terus menerus secara emosional dan
hubungan seksual diluar pernikahan mungkin tidak menjadi bimbang untuk menerima
perceraian sebagai orang yang tidak memiliki siapapun disampingnya. Ketika
kejadian extramarital sering memiliki
hasil pernikahan yang tidak bahagia, itu juga mungkin penambahan semangat untuk
mengakhiri pernikahan.
Sebenarnya
ada faktor keempat yang mempengaruhi pembuatan keputusan itu tetapi Levinger
tidak mendiskusikannya yaitu kekuatan dari emosi yang menyakitkan dapat membuat
pernikahan menjadi tidak bahagia.
Pada
suatu situasi, tidak ada pertanyaan pada pikiran individu bahwa bercerai
diterima. Satu dari pertanyaan yang paling didebatkan adalah ketika atau bukan
pasangan yang seharusnya tinggal bersama untuk tujuan anak. Sebagian ilmuan
sosial percaya jawaban iya, kecuali kekerasan terjadi pada hubungan, karena
banyak pernikahan berakhir pada perceraian yang dapat diselamatkan. Booth dan
Amato (2001) mempelajari data longitudinal nasional dari orang tua dan anak
dewasa mereka untuk menjelaskan cara dimana jumlah dari konflik pengaruh
pernikahan berdampak pada perceraian anak. Mereka menemukan bahwa banyak
pernikahan berakhir pada perceraian yang low-conflict.
Perceraian pada pernikahan yang low-conflict
dapat merusak anak sebagai anak dapat tidak menyadari ketidakbahagiaan dan
mungkin goncangan yang komplit ketika orang tua mereka bercerai. Booth dan
Amato (2001) juga menemukan bahwa pernikahan yang high-conflict berakhir pada perceraian yang kelihatan netral atau
efek yang berguna pada anak. Barangkali, keluar dari pernikahan yang high-conflict bermanfaat bagi anak
karena itu menghilangkan mereka dari pengalihan, lingkungan rumah yang cukup
stress. Perceraian bahwa bukan mendahului oleh periode jangka panjang dari
pertentangan yang jelas mungkin terlihat tidak diduga-duga, tidak dikehendaki,
dan kejadian yang tidak terkontrol, kejadian pada anak seperti pengalaman yang
cukup stress.
Menurut
Booth dan Amato, ada 2 kategori anak yang bermasalah dimasa depan secara
psikologis:
·
Anak yang tumbuh dengan
orang tua yang kembali berkonflik dan bermusuh
·
Anak yang tinggal
dengan orangtua dengan low-conflict
dan bagaimanapun akan bercerai
Bagaimanapun,
tidak setiap orang setuju bahwa pasangan seharusnya tinggal bersama ketika
mereka memiliki pernikahan yang low-conflict.
Sebagian studi menunjukkan umur 5-6 tahun menerima orang tua mereka yang
pernikahan low-conflict menjadi
konflik yang tinggi. Hasil lain menunjukkan bahwa anak lelaki terletak pada
keluarga two-parents dimana orangtua
yang dingin memiliki waktu yang sulit menunjukkan intimasi dari yang terletak
pada keluarga yang bercerai.
Realita
menunjukkan, sangat sedikit pernikahan yang bahagia atau tidak bahagia
sepanjang waktu. Waite dan Gallagher (2000) menemukan bahwa pasangan yang
memiliki peringkat persen terendah pada kepuasan pernikahan tetapi yang tidak
bercerai sering dikatakan mereka sangat senang selama 5 tahun terakhir.
Berdasarkan survey keluarga nasional dan data rumah tangga, mereka menemukan
sekitar 64% disana yang mengatakan mereka tidak bahagia tetapi tetap tinggal bersama
dilaporkan mereka senang selama 5 tahun terakhir dan lainnya 25% dilaporkan
terjadi peningkatan pada pernikahan mereka. Yang menarik, hampir 75% dari
pasangan suami istri yang dilaporkan pernikahan tidak bahagia melaporkan selama
diri mereka bahwa mereka senang pada pernikahan mereka.
ALTERNATIVE TO DIVORCE
Bila pasangan tidak puas dengan
pernikahan mereka, mereka bisa mempertimbangkan konseling pernikahan, program
pengayaan pernikahan dan perpisahan.
Marriage Counseling
Beberapa pasangan perlu mempertimbangkan
bahwa ada alternatif untuk bercerai. Salah satu alternatif yang penting adalah
konseling pernikahan. Pilihan ini bertujuan untuk melihat apakah dengan adanya
bantuan profesional pernikahan dapat menjadi bahagia atau sukses. Pasangan
cenderung skeptis tentang hasil konseling, terutama jika mereka sebelumnya tidak
pernah berkunjung ke seorang konselor atau memiliki pengalaman menyenangkan
dengan terapis. Tidak semua terapis memiliki kompetensi yang sama. Analisa
mengenai efek dari pernikahan dan terapi keluarga menunjukkan hal ini
berlangsung dengan baik (Shadish, Ragsdale, Glaser dan Montgomery, 1995). Penelitian lain telah menunjukkan
bahwa terapi efektif perkawinan, setidaknya dalam jangka pendek dapat
mengurangi konflik perkawinan. Selain itu, penelitian telah menunjukkan terapi
efektif perkawinan dalam jangka panjang untuk meningkatkan stabilitas
perkawinan, mengurangi konflik dan menghindari perceraian.
Terapi atau konseling pernikahan telah menjadi
bisnis yang berkembang karena lebih banyak orang telah tumbuh untuk merasa
nyaman dan meminta bantuan untuk hubungan mereka. Selain itu, beberapa negara
juga memerlukan konseling sebelum perceraian diucapkan.
Marriage Enrichment
Program marriage enrichment mengkombinasikan pendidikan dengan diskusi
kelompok untuk membantu pasangan meningkatkan hubungan komunikasi dalam
pernikahan dan memecahkan masalah. Program yang dilakukan dalam suatu kelompok
secara singkat sebelum atau sesudah pernikahan atau beberapa tahun setelahnya.
Tujuan utama program ini adalah mencegah; untuk meluruskan isu sebelum menjadi
konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Salah satu program tersebut adalah The Prevention and Relationship Enhancement
Program (PREP), yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan anggota dan
aturan untuk menangani konflik dan meningkatkan keintiman. PREP merupakan
pendidikan, tidak disajikan sebagai terapi atau konseling.
Separation
Percobaan
perpisahan adalah salah satu alternatif dalam perceraian. Perpisahan bisa
menjadi metode treatment yang efektif
dalam beberapa kasus. Khususnya pada perpisahan yang terstruktur dan apabila
terapi pernikahan dilanjutkan selama perpisahan. Perpisahan ini tidak menjadi
sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah waktunya pergolakan emosi dan
stress yang berlebihan—untuk pasangan dan anak-anak—dan hal ini memiliki
manfaat dan resiko yang cukup potensial.
Perpisahan
yang terstruktur mungkin didefinisikan sebagai habisnya waktu untuk pendekatan,
dimana pasangan berakhir dengan kohabitasi, berjanji mengikuti terapi dengan terapis
sesuai dengan jadwal dan setuju untuk adanya kontak antarpribadi secara rutin.
Dengan penundaan pada keputusan akhir, baik itu rujuk ataupun perceraian.
§ Extreme conflict.
Frekuensi, intensitas dan durasi
konflik menjadi sangat luar biasa sehingga pasangan tidak dapat menoleransinya.
Kekerasan secara fisik atau emosi dan agresi verbal.
§ Absence of spousal
reinforcement.
Sedikit atau tidak adanya reward, kesenangan atau kepuasan dari
hubungan pernikahan dan perpisahan dapat meningkatkan level hubungan timbal
balik positif.
§ Feeling constricted or
smothered.
Satu atau
kedua pasangan membutuhkan ruang secara personal dan emosional, terlepas dari kontrol pasangan dan cemburu, dan kesempatan untuk perkembangan personal dan kebebasan
secara individual ketika mereka memperbaiki hubungan mereka.
§ A situational or
midlife transition.
Keadaan
peralihan mencakup hilangnya orang yang dicintai, perubahan pekerjaan,
perpindahan kedaerah baru atau anak meninggalkan rumah. Masa paruhbaya
dikarakteristikkan dengan evaluasi dari satu pencapaian untuk suatu tujuan. Dapat
menghasilkan peningkatan kepuasan
dengan status quo, mengkalibrasi arah saat ini
atau identifikasi seluruh tujuan baru. Pada kasus ekstrim, dapat meliputi kekecewaan, depresi, stagnasi, menyalahkan diri sendiri, kehilangan
arah dan pergolakan emosional.
§ Indecision regarding
divorce.
Apabila
pasangan tidak dapat memutuskan perpisahan antar pasangan yang terstruktur
mungkin dapat berakibatkan buruk dalam dilema membuat keputusan.
Beberapa pasangan menginginkan perpisahan untuk menjalani
hubungan seksual lain. Beberapa pasangan akan setuju untuk berpisah karena
untuk kebebasan memiliki pernikahan lain. Apabila pasangan benar-benar serius
mengenai kelanjutan pernikahan, hal itu akan lebih membantu untuk memutuskan terlebih dahulu
hubungan gelap dan pekerjaan didalam pernikahan. Dan apabila pasangan
melanjutkan hubungan gelap mereka biasanya tidak bisa melanjutkan pernikahan
mereka.
NO-FAULT DIVORCE AND MEDIATION
Perceraian adalah metode yang legal
untuk mengakhiri pernikahan. dalam perceraian (1) kedua pihak dapat menikahi
orang lain; (2) properti dibagi berdasarkan hutang mereka; dan (3) jika
anak-anak termasuk, perawatan dan penjagaan mereka dipastikan.
Biasanya perceraian dapat dilakukan
jika satu pihak dinyatakan bersalah,seperti berselingkuh. Tetapi, pada tahun
1970 di California dikeluarkanlah undang-undang no-fault divorce yang pada dasarnya menyatakan bahwa mereka tidak
mengatribusikan kesalahan dan hal-hal lain yang menyebabkan salah satu pasangan
dinyatakan tidak bersalah sementara yang lainnya dinyatakan bersalah.
Undang-undang no-fault divorce ini
didasarkan pada adanya gangguan pada pernikahan atau ketidakmampuan pasangan
untuk berfungsi sebagai pasangan suami-istri.
Beberapa peneliti percaya bahwa undang-undang
ini menyebabkan peningkatan dalam perceraian. Oleh karena itu, mediasi dan
banyak bentuk resolusi untuk perselisihan lain bermunculan sebagai hasil dari
tingginya tingkat perceraian. Satu keuntungan menggunakan mediator adalah
mereka dapat secara objektif mewakili kepentingan antara orangtua dan anak.
satu keuntungan dari penyelesaian secara mediasi adalah pasangan cenderung
memenuhi keputusan yang mereka buat bersama daripada financial judgement yang disuruh oleh pengadilan yang menentang
kehendak pasangan.
Singkatnya, proses dari no-fault divorce menggunakan lebih
sedikit ligitasi ekstensif (kasus pasangan tanpa manfaat dari pengacara),
mengurangi biaya legal dan membuat perceraian yang “ramah” lebih mudah daripada
melalui sistem adversarial.
ADULT ADJUSTMENT AFTER DIVORCE
Permasalah
penyesuaian diri setelah perceraian mencakup:
- Menyingkirkan trauma emosional dari perceraian.
- Berhadapan dengan sikap dari lingkungan.
- Kesendirian dan permasalahan penyesuaian diri kembali terhadap lingkungan sosial.
- Penyesuaian diri terhadapa noncustodial spouse.
- Keuangan.
- Penyusunan kembali kewajiban dan peran kerja.
- Kontak dengan mantan pasangan.
8.
Interaksi kekerabatan.
Emotional Trauma
Perceraian dapat menjadi pengalaman
yang menganggu secara emosional. Krisis emosional biasanya disebabkan oleh
kehilangan yang tiba-tiba. Trauma akan semakin besar ketika satu pasangan ingin
bercerai sedangkan yang lainnya tidak, ketika ide tersebut datang tanpa diduga,
ketika salah satu pasangan tetap terikat secara emosional setelah bercerai atau
ketika teman dan keluarga tidak menerima.
Fakta bahwa kesehetan fisik menurun,
konsumsi alkohol meningkat dan peningkatan bunuh diri terhadap orang yang
bercerai daripada pasangan menikah mengindikasikan bahwa perceraian bisa
traumatis.
Social Attitudes toward Divorce
Beberapa
pandangan menyatakan bahwa perceraian merefleksikan kegagalan moral atau
ketidakcakapan personal. Bagaimanapun juga, sikap negatif berkurang seiring
perceraian semakin sering terjadi. Satu alasan adalah bahwa orang yang
mengingat pernikahan orangtuanya tidak bahagia atau yang mengalami perceraian
orangtua mempunyai sikap yang lebih dapat menerima kemungkinan mereka bercerai
dan perceraian orang lain.
Loneliness and Social Readjustment
Bahkan ketika dua pasangan yang
telah menikah tidak akur, paling tidak mereka mengetahui bahwa ada seseorang
lain di dalam rumah. Setelah bercerai, mereka mulai menyadari bahwa mereka
hidup sendiri. Penyesuaian diri ini lebih sulit khususnya pada pasangan yang
tidak mempunyai anak atau anaknya tinggal dengan pasangannya.
Adjustments to Custody
Arrangements
Penyesuaian terhadap tahapan untuk membesarkan anak
bervariasi. Kepedulian orang tua kehilangan anak mereka dan sering
mencari-cari kesempatan untuk bersama mereka. Mereka sering mengalami kecemasan
dan perasaan bersalah ketika mereka tidak dapat bersama anak-anak mereka lagi
dan beraktivitas lagi bersama anak-anak mereka. Orang tua lain sebenarnya
meninggalkan anak-anak mereka, tidak pernah bertemu, menghubungi ataupun
menyurati mereka atau mengingat liburan dan ulang tahun. Kategori ketiga dari
orang tua ingin bertemu dengan anak mereka lebih sering tetapi dihambat oleh
situasi dan keadaan. Secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa
perceraian mengurangi kedekatan antara orang tua yang tidak mendapat hak
membesarkan anak dengan anak mereka.
King dan Heard (1999) mempelajari interaksi keluarga
yang bercerai, berdasarkan 1.565 respon dari wanita yang bercerai kepada National Survey of Family and Households.
Mereka menemukan bahwa seorang ibu lebih menyukai adanya suami walaupun
beberapa masalah muncul akhirnya. Menariknya, studi ini tidak menemukan
hubungan antara ayah dan perkembangan anak,. Tetapi, kepuasan dan kesenangan
ibu memainkan peran penting terhadap masa depan anak, kemajuan anak terganggu
ketika ibu tidak senang, apapun itu masalahnya.
Shapiro dan Lambert (1999)
menguji National Survey of Families and
Household untuk mengidentifikasi efek dari perceraian pada kualitas
hubungan antara ayah dan anak. Mereka menemukan bahwa ayah yang bercerai dengan
hak untuk membesarkan anak mendapat kualitas hubungan yang buruk dengan anak
mereka daripada ayah yang masih melanjutkan pernikahan.
G. Stone (2002) meneliti peran dari berbagai jenis dukungan sosial terhadap
kemajuan psikologis dari ayah yang bercerai dan tidak memiliki tempat tinggal.
Penelitian ini menyatakan bahwa temmpat kerja untuk ayah adalah tempat penting
untuk mendapat dukungan dan dorongan untuk meningkatkan kemajuan psikologis
mereka setelah bercerai. Sayangnya, banyak tempat kerja yang tidak bersahabat
dengan seorang ayah. Levin dan Pittinsky (1997) menyatakan bahwa beberapa
perubahan penting harus ada di tempat kerja: menghargai seorang ayah dan
pentingnya ayah dalam kehidupan anak.
Finances
Di samping semua kemajuan, wanita
masih memperoleh sedikit penghasilan dibandingkan pria. Beberapa ibu hanya
menerima sedikit bantuan atau bantuan tidak menentu dari mantan suami mereka.
Meskipun banyak ibu yang bercerai bekerja, penghasilan mereka lebih rendah, dan
ibu dengan hak membesarkan anak sering mengalami kesulitan ekonomi yang serius.
Seperti yang didiskusikan
sebelumnya, meskipun pengadilan mungkin memerintahkan orang tua untuk membayar biaya untuk anak, banyak
orang tua yang mendapat hak membesarkan anak tidak menerima sejumlah yang
diharuskan diberi kepada mereka dan beberapa tidak menerima bantuan finansial
dari mantan suami atau istri mereka untuk membantu biaya dalam membesarkan anak
mereka.
Realignment of Responsibilities and Work
Roles
Orangtua bercerai dengan penjagaan
anak-anak dihadapi dengan prospek dari sebab pekerjaan yang terlalu
berat.Sekarang orangtua singel harus menampilkan semua fungsi keluarga yang
dulu nya dibagi oleh dua orang.orangtua single juga harus mengatur kembali
peran pengsauhan termasuk mengambil kembali fungsi yang dulunya dipenuhi
melalui orangtua bukan penjaga/pengasuh. Sebagai konsekuensinya orangtua
penjaga memberikan waktunya untuk anak-anak, kurang mampu mendengarkan dan
sering mempunyai pengontrolan masalah yang lebih dan memandu anak-anak. Jadi apakah
laki-laki atau perempuan, orangtua tunggal harus memenuhi semua fungsi keluarga
dan bisa memiliki sokongan atau bantuan yang kecil dari tanggungjawab.
Contact with the Ex-Spouse
Banyak pasangan begitu
marah pada pasangan mereka ketika mereka bercerai bahwa mereka membawakan
perasaanya melalui proses perceraian dan kadang-kadang selama beberapa tahun.
Adalah penting untuk pasangan yang menikah untuk melalaui kemarahan mereka dan
jangan mencemarkan hubungan dengan anak-anak mereka dan jangan menggantikan anak-anak
ditengah-tengah ketidaksetujuan mereka.
Lebih menggangu setelah
perceraian itu dan pasangan yang lebih dendam, kurang keinginan orang lain
untuk memiliki kontak setelah perceraian.ini masalah yang paling utama dari
pernikahan. Kebanyakan objek istri atau suami yang kedua berhubungan dengan mantan
pasangan,karna ini biasanya menuju kemarahan dan konflik terkhusus jika
seseorang pasanagan lama mencoba untuk menyebabkan kesusahan untuk pasanagan
baru.
Ketika kontak dipelihara
itu biasanya dalam hal hubungan terhadap anak-anak atau dukungan keuangan. Ketika
anak-anak memiliki masalah kedua orangtua dibutuhkan untuk terlibat dan
menghubungkan atau membicarakan masiang-masing masalah. Dalam kasus ini
hubungan yang bersahabat membantu mereka mengerjakan hal-hal dan membuat
hal-hal lebih mudah pada anak-anak. Kadang-kadang pasangan kembali ke meja
sidang atas sengketa setelah perceraian.
Kebanyakan sengketa
setelah perceraian dihubungkan pada visi yang benar dan dukungan anak-anak. Sengketa
lain mungkin terjadi jika seorang mantan pasangan mencoba untuk
mengurangi dukungan dalam hal pembayaran. Kebanyakan pasangan memiliki
kesulitan memecahkan pendekatan emosional mengiuti perceraian. Ini meningkatkan
pengalaman stress si subjek. Pendekatan yang lebih besar lebih menyulitkan
pasangan dalam menyesuaikan pada perceraian.
Kinship Interaction
Kedua
yang bercerai pria dan wanita percaya pada keluarga dalam waktu bercerai
terkhusus untuk dukungan sosial-emosi untuk membebaskan bahaya atau derita
psikologis. Banyak orangtua aktif dalam penenangan keteganagan dalam hidup
anak-anak dewasa dan cucu dari perceraian mereka.
Laki-laki
kemungkinan percaya pada keluarga dalam tahap awal perceraian dan wanita selama
periode waktu yang lebih lama.Perceraian adalah proses multi-generalisasi bahwa
pengaruh orangtua dan keluarga lainnya sebaliknya perceraian pasangan dan
anak-anak mereka.
Dalam
dukungan positif dari orangtua dapat memiliki sebuah pengaruh penting pada
penyesuaian perceraian. Perilaku yang sangat membantu termasuk :
- Dukungan emosional: mendengarkan ,menunjukkan empati dan menyatakan cinta dan kasih saying
- Kepedulian terhadap anak: ini mungkin bermakna sekali-sekali mengasuh anak,dan mengunjungi cucu selama waktu pekan.
- Nasehat yang rasional dan baik : termasuk membicarakan keputusan bersama orangtua.
- Respek atau menghormati kebebasan dan kemunduran: perceraian orang-orang yang meiliki kebutuhan yang berbeda-beda, yang lain ingin menurunkan ketergantungan yang sementara.
Pengaruh dari perceraian berbeda antara lelaki dan perempuan. Pada umumnya
perempuan yang bercerai dengan penjagaan anak memiliki hubungan yang lebih
dengan orangtua dan menerima bantuan yang lebih dari orangtua dari pada
perempuan yang menikah. Lelaki sebaliknya memiliki hubungan yang lebih dengan
orangtua dan menerima bantuan penjagaan anak yang lebih ketika mereka menikah
daripada mereka yang berada dalam kondisi yang lain.
Wanita lebih kemungkinan
daripada pria untuk memelihara ikatan dengan keluarga yang lama. Hubungan dengan
keluarga lama tidak didukung dan cenderung untuk mengakhiri dengan kasar
setelah perpisahan dengan kesempatan yang kecil dari penerusan berikutnya.
CHILDREN AND DIVORCE
Tidak ada jawaban yang pasti mengenai
bagaimana perceraian mempengaruhi anak, karena masing-masing dari mereka
memiliki pernikahan orang tua yang bermacam-macam. Namun, hal ini tetap perlu
didiskusikan.
Child
Custody
Istilah custody (pengasuhan) mengacu kepada dua
hal, yaitu:
- Legal custody (orang yang memiliki hak mengambil keputusan)
- Physical custody (dimana anak akan tinggal)
Legal
custody terdiri atas dua, yaitu:
- Sole legal custody, yaitu orang tua yang tidak mengasuh anak kehilangan hak untuk membuat keputusan mengenai kesehatan, pendidikan, atau latihan keagamaan anak; akibatnya orang tua yang mengasuh anak diberi kontrol untuk membesarkan anak.
- Joint legal custody, yaitu pengasuhan anak dilakukan bersama-sama antara kedua orang tua, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Ada keuntungan dan
kerugian terhadap masing-masing penetapan itu. Secara tradisional, sole custody pada anak telah
diperbolehkan untuk dilakukan oleh ibu kalau si ibu tidak sehat. Telah diketahui bahwa ibu-ibu
cenderung lebih memuaskan dalam mengasuh anak dibandingkan ayah. Akan tetapi,
semakin banyak pria yang menjadi orang tua asuh dan sebagai pasangan yang turut
dalam memperhatikan minat anak dan sering melakukan pengasuhan bersama (joint custody). Semakin populernya
penjagaan anak secara bersama-sama adalah respon terhadap perubahan peran
gender dalam masyarakat, seperti perubahan bertahap menuju pada pembagian tanggung jawab yang
sama dalam keluarga antara ibu dan ayah (Juby, Le Bourdais, dan Marcil-Gratton,
2005). Studi menunjukkan bahwa joint
custody mempunyai keuntungan bagi beberapa anak dengan mempertahankan
keterlibatan kedua orang tua, dan bahwa anak dengan joint custody atau legal
custody diatur dengan lebih baik daripada anak dengan aturan sole custody (Bauserman, 2002). Akan
tetapi, kemampuan kedua orang tua untuk dapat bekerja sama dalam mengasuh anak
juga merupakan hal yang penting.
Child
Support
Memberikan dukungan terus menerus pada
anak adalah salah satu kewajiban orang tua, yang diatur dalam undang-undang,
baik orang tua tersebut menikah atau tidak. Karena 84% orang tua yang mengasuh
anak adalah wanita, dukungan ayah yang paling umum untuk anak adalah
mentransfer sumber ekonomi terhadap anak-anak mereka. Transfer ini biasanya
sangat penting untuk kesejahteraan anak.
Berdasarkan data US Census Bureau, pada tahun 2002. Secara
keseluruhan, 27,6% dari semua anak usia
di bawah 21 tahun tinggal di dalam keluarga yang salah satu orang tuanya
tidak tinggal di rumah. Mayoritas besar pemberi nafkah terhadap anak adalah
pria (84%), sementara wanita adalah 16% (Grall, 2003).
Ada 3 sistem esensial
dalam menentukan jumlah pemberian dukungan terhadap anak:
- Menetapkan persentase pendapatan orang tua yang tidak menjaga anak berdasarkan jumlah tanggungan anak
- Menghitung dukungan berdasarkan gabungan pendapatan kedua orang tua, dimana masing-masing membayar persentase yang ditanggung bersama dari gabungan pendapatan mereka
- Mengambil pendapatan kedua orang tua tetapi diberikan pengecualian seperti pajak, pengeluaran, atau tanggungan lain dari orang tua yang tidak menjaga anak.
Dalam usaha menetapkan
standar yang tepat mengenai kewajiban mendukung anak, dibuat undang-undang
wajib yang berisi standar mendukung anak. Dalam studinya terhadap kewajiban
mendukung anak, Coleman, Ganong, Killian, dan McDaniel (1999) menemukan
sedikitnya persetujuan mengenai seberapa banyak uang yang seharusnya dibayarkan
orang tua untuk mendukung anak, dengan kesenjangan yang besar antara yang
direkomendasikan dan apa yang dianggap cukup oleh orang tua. Banyak orang tua
merasa bahwa seharusnya ada pengurangan kewajiban ayah jika ibunya menikah kembali
tetapi tidak jika hanya ayah yang menikah kembali.
Sistem menurut
undang-undang memiliki tiga pendekatan untuk meningkatkan dukungan, yaitu:
1. The deterrence-based
approach, menggunakan hukuman menurut
undang-undang untuk menjamin pembayaran dukungan. Ada data statistic yang
menunjukkan bahwa pendekatan ini meningkatkan pembayaran dukungan oleh orang
tua.
2. The compliance approach,
menggunakan pemeriksaan acak, dihasilkan dari dana yang disimpan dari
pendapatan, sebelum pembayaran dukungan anak dilupakan. Pendekatan ini juga
menunjukkan efek positif.
3. The consensus approach,
tidak takut pada hukuman atau pada aturan pembayaran, tetapi pada penerimaan
sosial dan norma.
Ada dua strategi dalam
mengembangkan norma yang tepat:
- Menjalankan undang-undang secara konsisten hingga perilaku berubah.
- Menggunakan media untuk meyakinkan masyarakat bahwa norma itu pantas.
Membuat pembayaran
dukungan pada anak secara teratur sangat penting untuk kesejahteraan anak. Agar
ia tahu bahwa ia diperhatikan oleh kedua orang tua, dan memenuhi seluruh
kebutuhan sang anak.
Visitation Rights
Biasanya mengunjungi anak
diperbolehkan pada orang tua yang tidak menjaga anak. Hak ini mungkin tidak
terbatas (mengizinkan oraag tua berkunjung kapanpun) atau mungkin terbatas
(membatasi waktu berkunjung hanya pada waktu tertentu). Mayoritas orang tua
tidak tinggal dengan anak mereka melakukan joint
custody atau hak berkunjung. Pasangan yang ingin balas dendam dapat membuat
sengsara dengna mengatur kapan waktu bagi orang tua lainnya dapat berkunjung,
dengan membuat pikiran anak bertentang dengan orang tua lainnya, tidak
memperbolehkan anak menelepon atau menulis surat, atau dengan menggunakan hak
berkunjung untuk mengontrol orang tua lainnya.
Reaction of Children
Sejumlah
klinisian menekankan bahwa anak menerima perceraian sebagai suatu peristiwa
negatis yang menimbulkan emosi rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian.
Banyak klinisian merasa bahwa mayoritas anak mendapat keseimbangan psikologis
dalam setahun atau lebih dan mulai lagi bertumbuh dan berkembang dengan normal.
Pada kenyataannya, sekarang beberapa anak,seperti orang dewasa, percaya bahwa
keputusan ornag tua mereka untuk bercerai adalah keputusan yang benar dan tidak
menginginkan orang tua mereka tetap dalam pernikahan itu.
Salah
satu debat yang paling besar dalam literatur perceraian adalah argumen “cukup
baik untuk menikah” atau “cukup baik untuk bercerai”. Penelitian menemukan
bahwa anak yang orang tuanya berpisah atau bercerasi lebih mungkin untuk
mengalami masalah perilaku. Tetapi, anak dalam keluarga utuh dengan konflik
ornag tua yang tinggi juga menyebabkan tingginya masalah perilaku. Jadi,
perceraian dengan jelas mengganggu anak dan hidup bersama orang tua yang
bertengkar terus juga menjadi masalah. Dan penelitian menunjukkan bahwa konflik
orang tua memberikan ancaman yang lebih besar pada kesejahteraan anak daripada
struktur keluarga.
Pengaruh
perceraian pada anak tergantung pada banyak variabel: apakah perceraian itu
meningkatkan atau mengurangi kualitas pengasuhan, apakah meningkatkan atau
memperburuk atmosfir emosi di rumah, apakah baik atau menyakitkan, apa
pengaruhnya pada orang tua, dan penjagaan seperti apa yang akan dilakukan.
Tanpa memperhatikan variabel itu, perceraian membutuhkan penyesuaian dari
banyak anak.
Pada
saat mengalami perceraian, anak mungkin mengalami masa berkabung dan bersedih,
dan suasana hati dan perasaannya mungkin sedih dan patah hati. Reaksi lainnya
adalah menyalahkan diri mereka sendiri. Jika anak adalah sumber utama dari
konflik pasangan, maka anak dapat merasa bertanggung jawab. Beberapa anak
merasa bahwa orang tuanya meninggalkan mereka karena mereka bukanlah “anak
baik”. Reaksi lainnya adalah anak mencoba untuk menyatukan orang tuanya.
Anak
juga membuat penyesuaian lain. Mereka menyesuaikan diri dengan tidak adanya
salah satu orang tua, yang mana biasanya adalah tempat mereka mendapat kasih
sayang dan pertolongan. Anak yang lebih tua juga diwajibkan untuk lebih
bertanggung jawab dalam fungsi keluarga seperti memasak, merawat rumah, bahkan
mencari uang untuk mendukung keluarga. Ini memang pengalaman yang mendewasakan
mereka, tetapi itu juga merupakan penyesuaian yang sulit.
Anak
hasil perceraian juga mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan baik dengan
saudara mereka ketika dewasa. Penyesuaian secara khusus juga diperlukan untuk
anak yang orang tuanya bercerai. Jika orang tuanya menikah kembali, anak
menyesuaikan diri kembali dengan orang tua tiri dan mungkin saudara tiri.
Beberapa
orang tua mengikuti program dengan anak mereka untuk menolong anak menghadapi
perceraian. Yang lainnya mengikuti sesi intervensi skill-building yang meningkatkan penyesuaian diri anak setelah
perceraian.
Kesulitan
mungkin tetap berlangsung dalam hubungan anak-orang tua ketika anak-anak dari
keluarga bercerai hingga dewasa. Ketika anak mengalami kesulitan di awalnya,
maka mereka harus banyak belajar menyesuaikan diri dengan baik. Perceraian
mengatur kembali keluarga, tetapi itu bukanlah menghancurkannya.
PEMBAHASAN
Skripsi mengenai perceraian yang
tejadi di Indonesia yang kami temukan berjudul “Penyesuaian Perceraian pada
Wanita Desa yang Bercerai” (sumber: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/14519)
membahas mengenai seorang wanita desa bernama Mai berusia 40 tahun. Saat ini
bertempat tinggal di desa Pasar Rawa, Kabupaten Langkat, Sumut. Mai menikah
dengan Amat, suaminya pada tahun 1987 dan dikaruniai empat orang anak. Mai
menikah pada usia 19 tahun, namun pernikahan Mai tidak berlangsung dengan bahagia,
suaminya berselingkuh dengan wanita lain, sering memukulinya, marah kepadanya,
dan tidak memberikan uang belanja yang mencukupi. Hal ini memebuat Mai tidak
tahan lagi untuk mempertahankan rumah tangganya, akhirnya Mai mengajukan
perceraian terhadap suaminya.
Tetapi Mai belum melegalkan
perceraiannya secara hukum karena alasan ekonomi. Seluruh anak diasuh oleh Mai.
Dari segi pendidikan, Mai hanya sampai kelas 2 SD. Saat ini bekerja sebagai
buruh lepas persawahan di sekitar rumahnya. Setelah 2 tahun menalani
pernikahannya, Mai merasakan ketidakbahagiaan dalam rumah tangganya. Ketidakbahagiaan
itu berawal dari rasa curiga Mai terhadap suaminya yang memberikan uang belanja
yang semakin berkurang sedikit demi sedikit. Mai juga mendengar berita dari
teman-temannya bahwa suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Pertama kali
mendengarnya, Mai tidak mempercayai berita itu begitu saja. Baginya, semua itu
hanya fitnah. Menurut, deskripsi tentang ketidakpuasan pernikahan oleh
Kersten (1990), Mai sedang berada pada
fase awal dimana ditandai dengan peningkatan kekecewaan, perasaan
terluka, dan marah. Akan tetapi, masih
tetap ingin mempertahankan rumah tangganya.
Seiring waktu
perilaku suaminya mulai berubah, suaminya menjadi sering marah ketika berada di
rumah. Bagi Mai perilaku marah suaminya disebabkan oleh masalah suaminya dengan
selingkuhannya. Mai merasa kurang pantas mendapatkan perilaku seperti itu dari
suaminya karena Mai sudah bekerja keras membantu suaminya mencari nafkah. Hal
ini yang memicu pertengkaran diantara mereka berdua. Dalam hal ini, Mai berada
pada fase tengah
dimana usaha menyenangkan pasangan berkurang, namun usaha
penyelesaian masalah meningkat.
Selanjutnya, Mai
merasa suaminya sudah mulai kasar terhadapnya dan semakin sering memukulnya.
Akhirnya Mai menemukan bukti bahwa suaminya berselingkuh. Setelah itu, Mai
terus mencari tahu mengenai perselingkuhannya dan berkonsultasi dengan dukun
untuk menyelesaikan permasalahannya. Setelah berusaha untuk mempertahankan
rumah tangganya Mai justru merasakan kesengsaraan sehingga membuatnya berfikir
untuk bercerai. Mai mengakui sudah merasa putus asa dan tidak ingin lagi untuk
berbaikan dengan suaminya. Setelah lima bulan mempertimbangkan keputusannya
untuk bercerai, akhirnya Mai merasa bahwa perceraian adalah jalan terbaik.
Setelah bercerai, Mai merasa senang karena tidak ada lagi penyiksaan yang dia
terima. Ini adalah fase akhir dari ketidakpuasan pernikahan yang dirasakan Mai
yang berakhir dengan perceraian.
Setelah melakukan
perceraian, maka Mai harus melakukan beberapa penyesuaian, baik pada diri
sendiri, anak, maupun lingkungan sosialnya.
- Trauma emosional: Mai tidak merasakan sedih atas perceraiannya, karena menganggap bahwa bercerai adalah keputusan terbaik untuk menyelesaikan masalah rumah tangga mereka. Kehadiran teman juga membuat Mai dapat melupakan kesedihannya. Fokus pikiran Mai sekarang adalah kepada anak-anaknya.
- Sikap masyarakat: Mai memberitahukan mengenai perceraiannya dan tetangga mendukungnya bahkan menolong dia menjaga anaknya ketika Mai sedang bekerja. Hal ini disebabkan karena para tetangga telah mengetahui perilaku suaminya juga pekerjaan Mai. Mai juga tidak malu dengan status perceraiannya karena dia tidak merasa melakukan kesalahan.
- Kesepian dan social readjustment: Mai tidak merasa kesepian ataupun kehilangan suaminya, karena sejak menikah juga suaminya jarang tinggal dirumah. Tetapi, dia mengaku kehilangan tempat untuk mengadu masalah anak-anaknya. Sekali lagi, teman-teman sangat membantu Mai dalam mengatasi permasalahannya. Mai belum berpikiran untuk menikah lagi karena masih banyak hal yang harus dipertimbangkan.
- Pengaturan pengasuhan anak: pengasuhan anak diberikan pada Mai, hanya beberapa kali saja suaminya datang dengan alasan untuk menjenguk anak-anak. mantan suami Mai juga tidak menunjukkan keinginan untuk mengambil salah satu anak. Mengenai urusan anak, Mai tidak pernah lagi berdiskusi dengan mantan suaminya.
- Keuangan: hanya satu kali, setelah bercerai, mantan suaminya memberikan uang belanja untuk anak-anaknya. Hal ini menyebabkan perubahan dalam kondisi keuangan keluarga Mai. Banyaknya kebutuhan Mai beserta anak-anaknya mengharuskan Mai untuk menambah pekerjaan sehingga bisa menghidupi kedua anaknya.
- Perubahan tanggung jawab dan peran kerja: pekerjaan rumah tangga biasa dilakukan Mai sendiri, karena mantan suaminya biasa mengurus belanja. Mai juga tidak merasa kesulitan dengan beban kerja yang bertambah karena sudah terbiasa. Dia hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok anak-anaknya.
- Kontak dengan mantan suami: setelah bercerai timbul rasa benci pada diri Mai terhadap suaminya, walaupun Mai mengaku tidak dendam. Mai tidak pernah lagi bertemu dengan mantan suaminya. Jika mantan suaminya datang kerumah untuk menjenguk anak-anaknya, Mai memilih pergi dan menghindar.
- Interaksi dengan keluarga: setelah bercerai Mai tidak pernah berniat berkunjung ke keluarga mantan suaminya, begitu juga dari keluarga suami.
PENUTUP
Kesimpulan
- Faktor sosial dan demografis mengindikasikan kemungkinan perceraian, mencakup usia pernikahan, agama, status sosioekonomi, area geografis perceraian orangtua kehadiran anak.
- Penyebab perceraian mencakup persepsi dari pasangan dan proses ketidakpuasan terhadap pernikahan.
- Tiga dasar pertimbangan sebelum memutuskan untuk mengakhiri pernikahan menurut Levinger mencakup kepuasan atau daya tarik pernikahan, penghalang untuk keluar dari pernikahan dan ketertarikan terhadap alternatif perceraian.
- Alternatif terhadap perceraian mencakup konseling pernikahan, marriage enrichment, dan separasi.
- Penyesuaian diri setelah perceraian mencakup trauma emosional, sikap masyarakat, kesepian, pengasuhan anak,keuangan, tanggung jawab dan peran kerja, kontak dengan mantan pasangan dan interaksi keluarga.
- Pasangan dengan anak yang melakukan perceraian, harus memperhatikan beberapa hal, yaitu pengasuhan anak, dukungan pada anak, hak untuk mengunjungi anak dan reaksi anak-anak terhadap perceraian.